28.2.17

Bagaimana Jika Saya Nikah dengan Pasangan Beda Agama?




Salah satu mata kuliah saya saat ini, adalah Masail Fiqhiyah. Saya lalu mendapat bagian pembahasan makalah terkait pandangan fiqh klasik dan sistem perundang-undangan Indonesia tentang kawin beda agama ini. Lebih khsususnya perkawinan antara muslim dengan non muslim. 

Setelah diskusi, saya ingin menulis di sini dengan judul “bagaimana jika saya kawin dengan pasangan beda agama?”, agar pembahasan ini menjadi sedikit sederhana. 

Oke, mari kita duduk-kan perkaranya satu per satu dulu.
  1. Beda agama dalam konteks ini, perlu dipahami terlebih dahulu. Dalam Alquran,  term digunakan adalah:
    1. Musyrik; Dalilnya adalah al Baqarah ayat 221. Mengacu ke ayat ini, jelas pria dan wanita muslim haram hukumnya kawin dengan orang musyrik.
    2. Kafir;  Dalam surat Al Mumtahanah ayat 10 disebutkan larangan kawin dengan orang kafir.
    3. Ahl kitab; Fiqh klasik berdasarkan surat Al Maidah ayat 51 disebutkan kebolehan kawinnya pria muslim dengan perempuan ahli kitab.
Ahl kitab adalah umat yang memeluk agama yang telah diturunkan sebelum Al Quran. Ahli kitab adalah Nasrani dan Yahudi.
Terdapat perbedaan pendapat, apakah Nasrani dan Yahudi hari ini, tergolong ahli kitab? Apakah keyakinan terhadap ‘tauhid’ masih bisa diukur dengan kitab suci yang dijadikannya patokan sekarang? Apakah masih ada yang terjaga keimanannya, sebagaimana agama itu diturunkan dahulu? Baiklah, kita tak akan berlama-lama dalam perdebatan siapa ahli kitab hari ini.
Kita hanya akan bicarakan, ‘kalaupun, nasrani Indonesia hari ini adalah ahli kitab, apa hukumnya pria muslim kawin dengan wanita Nasrani?’

  1. Dasar hukum Islam di Indonesia, salah satunya adalah Kompilasi Hukum Islam. Di dalam KHI dengan tegas disebutkan larangan menikahnya umat Islam dengan non Muslim.
Lalu, apakah dengan begitu, KHI tidak sesuai dengan Al Quran? Kenapa KHI melarang, sementara dalam fiqh klasik saja, boleh hukumnya pria muslim menikahi wanita ahl kitab.
Yang pertama, larangan kawin dalam KHI disebutkan dalam beberapa teks.
a.        perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.”
b.      Pasal 40 point c, “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.”
c.  Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Ini artinya, KHI benar-benar menutup peluang kawin dengan non muslim.
Jika saya adalah seorang perempuan muslim, maka tak ada satu celah pun bagi saya untuk menikah dengan/dinikahi oleh pria non muslim.
Jika saya pria? Saya ingin menikah dengan seorang wanita baik-baik (muhshanat) dari umat Nasrani (anggaplah ia ahl kitab). Bagaimana fiqh kontemporer memandangnya?

  1. Contoh kasus, dulu, ada kemungkinan kawinnya muslim dengan non muslim, melalui aturan ‘perkawinan campuran’, yang dianggap makna campuran itu, selain berbeda bangsa/kewarganegaraan, juga berbeda agama. Maka dengan alasan ini, ada yang berdalih untuk menikah beda agama.
Argumentasi yang dipakai adalah, pasal 57 tentang perkawinan campuran, yang menitikberatkan pada dua orang  di Indonesia yang tunduk pada hukum berlainan. Artinya, pasal ini juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama.
Jika agamanya, Islam, hal ini lebih lanjut diatur dengan : Ditolaknya permohonan kawin yang diajukan oleh pasangan beda agama (muslim dengan non muslim) di Kantor Urusan Agama. 

Sementara pada pasal 10 Peraturan Pemerintah No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah dan dihadiri dua orang saksi. 

Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.”
Maka, dengan teks ini, jika pasangan beda agama yang salah satunya muslim, akan menikah, tak ada jalan selain salah satunya mengikut untuk tunduk dinikahkan menurut ajaran salah satu agama. 

Dari hal ini, dapat dilihat kualitas keberagamaan pasangan tersebut. Islam melarang kawin dengan non muslim sesuai Al quran surat Al baqarah 221. Sedangkan dalam ajaran Kristen juga ada larangan kawin beda agama (II Korintus 6: 14-18).

Maka pandangan fiqh kontemporer terhadap hal ini adalah:
1.      Kaidah fiqh
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
‘dar ul mafaasid, muqaddamun ‘ala  jalbil mashaalih’
mencegah kerusakan lebih diutamakan dari mencari kebaikan.

Tak dapat dipungkiri,  kecendrungan setiap pemeluk agama, ingin berdakwah untuk agamanya masing-masing. Dalam konteks pria muslim dengan wanita nasrani, kemungkinan dakwah memang ada. Tapi tak ada jaminan bahwa benar yang didakwahi akan sampai hidayah kepadanya.  Sementara, kemudharatan/kerusakan yang ditimbulkan oleh keputusan tersebut, berefek/berdampak terhadap banyak hal. 

Diantaranya adalah tujuan menciptakan keluarga yang memberi ketenangan (sakinah) sulit terwujud dalam rumah tangga yang memiliki tingkat perbedaan yang tinggi. Apakah lagi, perbedaan keyakinan. Dampak psikologis dan pendidikan yang akan dialami anak ke depannya, faktor sosial lingkungan keluarga, dll, adalah kerusakan-kerusakan yang mungkin ditimbulkan. 

Maka sesuai kaidah ushul ini, lebih diutamakan mencegah kerusakan daripada mencari satu kebaikan saja.

Hal ini sejalan dengan Fatwa MUI tanggal 1 Juni 1980, yang mengharamkan kawin beda agama. “setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram”. 

2.      Dalam Islam, ada namanya maqaashid syariah. Dalam konteks nikah beda agama, dengan dikhawatirkannya kerusakan agama ini, bertentangan dengan prinsip maqaashid syariah, yaitu Menjaga Agama.

3.   Saad azzariah, sebagai salah satu metode istinbath hukum dalam Islam, dengan menutup jalan yang berpotensi menimbulkan kemudharatan. Hal ini dianggap sebagai tindakan preventif dalam menjaga Islam, dan diri ummat dari berbagai kemungkinan kemudharatan yang ada.

Maka, jika saya adalah penganut yang taat pada agama saya, (dalam hal ini, Islam), tentu saya akan mempertimbangkan segala kajian fiqh kontemporer ini. Saya tak mampu memikirkan dengan nalar pribadi, memahami maksud ayat dengan penafsiran sendiri, atau menduga-duga, ‘kenapa ayat menjadi kontradiktif dalam penetapan hukum, di sini dibolehkan, di ayat lain justru dilarang’.

Dan, sekalipun ada juga yang kemudian menikah beda agama, baik dengan tunduk pada salah satu agama, --walaupun untuk sementara--, atau, dilakukan juga menurut dengan agama masing-masing, atau menikah di luar negeri, atau.. atau lainnya, maka jelas sudah.. telah tertutupnya pandangan keislaman –hati dan nalar- saya. Dan mengutamakan ‘sesuatu yang tak berarti lebih abadi’ itu.

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...