9.1.09

HARI IBU

22 Desember, sebahagian manusia seisi dunia mencoba mengungkapkan isi hatinya berupa kasih sayang, cinta dan ketulusan kepada makhluk yang dipanggil IBU. Diantaranya memberi sedikit bentuk kejutan ringan, hadiah. Atau bagi anak yang tidak berada disisi ibunya, maka akan menelpon atau mengirimi pesan singkat dengan ucapan-ucapan ungkapan rasa cinta. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk tujuan agar ”ibu” merasa bahagia dan menjadi perhatian orang-orang terdekatnya pada hari tersebut.

Tidak masalah, jika yang diinginkan adalah kebahagiaan seorang makhluk Tuhan yang tercipta begitu kuat, begitu tegar, bersahabat, dan ujungnya sebutlah berada pada posisi yang mulia. Tidak akan ada diantara kita yang membantahnya, jika Ibu merupakan manusia yang mulia dan sangat berjasa bagi kita. Memang merupakan suatu bentuk terima kasih dan ungkapan kasih sayang kepada ibulah maka kita berkewajiban untuk membahagiakannya.

Namun, entah apa yang menjadi referensi bagi mereka untuk turut memperingati hari tersebut sebagai hari ibu, khususnya umat muslim. Barangkali karena sudah memasyarakat, khususnya Indonesia, maka dijadikan ”boleh serta baik” lah peringatan hari ibu ini. Sebagai umat islam yang berpikir, kita perlu melihat latar belakang historis kenapa hari ibu diperingati pada hari tersebut?

Sekian abad lampau di Mesir, hidup seorang perempuan beragama kristen koptik bersama ibunya yang begitu ia sayangi dan cintai. Apapun akan dilakukannya adalah demi kebahagiaan ibunya. Ia begitu mengkultuskan sosok ibunya. Ia tak tahan jika ibu sesaat saja tidak berada disisinya. Ibu adalah pelitanya. Ibu penerang jiwanya. Ibu bahagian hidupnya.

Suatu kali si ibu sakit. Ia begitu cemas. Segala upaya dilakukan agar si ibu bisa kembali sehat dan dapat menemani hari-harinya. Sampai akhirnya takdir berkata lain, si ibu meninggal dunia, meninggalkan putri tercinta. Perempuan tadi merasa shok berat. Ia tidak yakin dan tidak rela dengan kepergian ibunya. Akhirnya, dengan tujuan menjaga keberadaan ibu disisinya, si ibu tadi didandani sedemikian rupa. Si ibu dipakaikan baju kesayangannya. Perempuan tadi lena dengan situasi yang keluar dari jalur akal sehat tersebut. Maka diperingatilah hari kematian ibunya itu sebagai Hari Ibu. Tepat tiga hari selepas kepergian ibunya, perempuan tadi merayakan hari raya Natal.

Bagaimana menurut Anda narasi diatas? Jika Anda mengakui adanya keimanan dan keislaman, saya yakin ada hal yang membuat Anda perlu sedikit termenung.

Akankah kita mengikuti kebiasaan Kristen Koptik dan hal yang tidak pernah disyariatkan dalam islam? Syariat pun menyebutkan, ”Barangsiapa yang meniru-niru (adat dan kebiasaan) suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut”.

Perlukah kita memperingati hari ibu yang hanya diperingati satu kali setahun saja? Bukankah ibu adalah sosok yang sangat kita cintai? Lalu kenapa hanya satu kali dalam 365 hari kita ungkapkan rasa cinta dan kasih kita pada makhluk yang jasa-jasanya tak kan bernah berbalas dengan dunia seisinya? Islam begitu memuliakan perempuan khususnya ibu. Dalam suatu riwayat disebutkan ”suatu kali ... bertanya kepada Rasulullah saw, hormatilah ibumu, hormatilah ibumu, hormatilah ibumu, hormatilah ayahmu”. Tiga kali pengulangan penghormatan kepada ibu, tidakkah cukup meyakinkan kita untuk senantiasa menghormati Ibu sepanjang hari. Mari cintai, sayangi, dan muliakan Ibu spanjang hari. Hari ibu kita adalah setiap hari, sepanjang tahun.

Sahabat, kita perlu kritis terhadap suatu hal yang memang telah membudaya dan memasyarakat jika hal tersebut ternyata tidak ditemukan dalam syarit dan aturan agama kita, Islam. Dan jika hal atau kebiasaan tersebut benar bukan merupakan bagian dari syariat, kenapa kita tidak berani mengatakan ”tidak”?

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...