9.1.09

Pemberdayaan Perempuan atau Eksploitasi


Salah satu isu hangat tentang perempuan hari ini adalah pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan adalah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk dapat menyalurkan berbagai keterampilannya dan diberdayakan sebaik-baiknya.
Namun terkadang ada kesalahan interpretasi dari bagaimana langkah memberdayakan perempuan tersebut? Dengan mempromosikan keberadaannya, atau mengekspos dirinya? Sebagai contoh, media yang berkembang di masyarakat hari ini baik media elektronik maupun media cetak, terlihat tidak terlepas dari sentuhan perempuan. Perempuan menjadi objek paling sering muncul di media tersebut. sebutlah berbagai program acara yang ditayangkan di televisi, bisa dipastikan tidak ada yang tidak diwarnai dengan ”perempuan”. Baik itu hostnya, acaranya sendiri, apalagi iklannya.

Pemilihan Miss Universe, ”Ajang bergengsi” dengan berbagai tawaran kemegahan dan ketenaran yang ditawarkan seakan memenuhi pemikiran sebagian perempuan indonesia saat ini. Trend ini juga menggejala di kalangan remaja putri. Berbagai seleksi pemilihan unjuk kebolehan diri yang notabene adalah pamer diri atau sebutlah ini membudayakan narsis yang tidak beralasan marak dan menjamur. Tidak beralasannya karena hanya berpatokan pada hal yang sifatnya buatan saja, polesan saja, bukan dilihat dan dinilai dari berbagai kemampuan dan skill yang memang bisa diandalkan dan diharapkan menjadi modal dalam kehidupan di remaja putri tersebut.

Atau ketika isu RUU APP beredar di masyarakat, sebagaian perempuan malah menentang dan menyatakan protes untuk penetapannya. Aneh sekali. Ada berbagai LSM perempuan yang menyatakan ketidaksetujuannya dengan adanya RUU tersebut. Kok malah perempuan yang menolak adanya ”perhatian baik” bangsa ini terhadap dirinya. Ironinya, alasan klasik masih saja didengung-dengungkan, ”Nilai Seni dan budaya”. Memang tidak bisa dipungkiri Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam budaya, dan kaya akan kesenian daerah. Keanekaragaman tersebut dilandasi dengan budaya timur yang terkenal dengan kesopanan dan kesantunannya. Lalu dari segi apalagi RUU APP tersebut dinilai tidak sesuai dengan budaya dan seni? Barangkali kita perlu merenungkan, apakah yang terjadi sudah merupakan pemberdayaan terhadap perempuan atau bahkan adalah salah satu bentuk eksploitasi hak-hak perempuan itu sendiri.

Setiap kali siaran televisi, apakah itu film, sinetron, dan siaran lainnya sebagian besar memanfaatkan perempuan sebagai komoditi utamanya. Lebih-lebih lagi iklan, yang menjadi promosi adalah produk harian berupa jam tangan, sabun cuci, dan lain sebagainya, namun yang menjadi perhatian eksposnya adalah beberapa bagian tertentu dari tubuh perempuan.

Hari ini sudah tidak ada lagi slogan media sebagai sarana penunjang pendidikan. Barangkali masih jauh dari harapan tersebut, jika kita melihat realita yang ada. Iklan-iklan yang tidak layak tayang sudah menjadi yang biasa di media. Dan semua itu tidak terlepas dari keberadaan perempuan sebagai bintang iklan tersebut. Inikah yang disebut dengan pemberdayaan perempuan? Atau hanyalah sebagai bentuk eksploitasi semu terhadap perempuan itu sendiri yang tidak disadari oleh sebagian besar mereka.

Perempuan dengan segala daya tariknya memenuhi setiap lini kehidupan. Dimana-mana dengan mudah bisa didapatkan apa yang dibutuhkan dari perempuan. Tanpa dicari pun perempuan sudah menjadi ”gula-gula media” yang bisa dinikmati kapanpu dan dimanapun.
Dampak tidak langsung dengan eksploitasi semu ini adalah maraknya pelecehan bernagai hal terhadap perempuan. Penghargaan terhadap bentuk emansipasi perempuan dianggap sebagai hal yang hanya bisa dinilai dengan sebelah mata.

Ternyata menara kehormatan perempuan yang telah dibangun R.A kartini, Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus, dan lain sebagainya telah roboh dan pupus dilawan ”gula-gula media”. Kepada Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan, semoga ini juga menjadi perhatiannya. Memang juga perlu kita akui masih ada perempuan yang bisa diberdayakan dengan segala kemampuan dan skillnya. Namun persentasenya tidak lagi sebanding antara yang positif dengan negatifnya.

Sebagai suatu ungkapan perasaan, kiranya perlu saya tuliskan, ”Saya turut prihatin melihat kondisi perempuan hari ini yang sudah tertinggal dari berbagai sisi, baik itu martabat, harga diri, bentuk-bentuk emansipasi dan kemampuan intelektual di ranah pendidikan dan kancah politik negeri ini”. Semoga kedepan kita bisa mengembalikan citra dan kehormatan yang selama ini dipinjam oleh sejarah.

2 comments:

  1. mmmmmmmmmm
    PER-EMPU-an
    pahami lah per empu an

    ReplyDelete
  2. Jika kita baca buku “Kenapa Berbikini Tak LAnggar UU Pornografi,” (ada di gramedia) maka yang menolak UU POrn seharusnya mendukung, sebalilknya yang mendukung seharusnya menolak. Kenapa bisa begitu? Dunia memang sudah terbolak-balik. Biar kita tidak terbolak-balik juga, maka buku di atas sangat penting tuk dibaca.

    ReplyDelete

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...