13.3.12

Si Nenek Guru



Suatu kali dalam perjalanan pulang, saya duduk berdekatan dengan seorang nenek di angkutan kota. Si nenek usai belanja kelapa.  Mungkin ada hajatan. Di Minang, tak biasanya orang membeli kelapa sekitar 20 butir kalau bukan akan marandang (memasak rendang). Itu asumsi saya. Nah, sekarang kita tidak membahas rendangnya, tapi mengomentari si nenek. 

Si nenek menurut perkiraan saya telah berusia di atas 60 tahun.  Nenek ini terlihat sehat. Tubuhnya tidak terlalu kurus. Tangan pun tak teralu keriput. Kulit terangnya terlihat bersih. Ia duduk tegak, tak membungkuk –layaknya nenek-nenek-. tersenyum, damailah hati memandang nenek ini.

 Memakai baju kurung (khas minang) bermotif bunga warna kuning-hijau. Ditambah kerudung yang hijaunya selaras dengan warna baju, membuat ia terlihat tetap segar.

“Ananda turun dimana?” ujarnya pada seorang ibu gemuk yang duduk di sampingnya. Terlihat giginya yang ompong baru di bagian taring. Sedang gigi depannya atas bawah masih terlihat lengkap. Saya tak tahu gerahamnya apa masih ada atau tidak. Terawat sekali tubuh nenek ini, pikir saya.
 
“Di Simpang Baringin Mak” ujar si ibu gemuk.

Saya pikir-pikir tak pantas sekali rasanya nenek ini dipanggil Mak. Mungkin lebih pasnya beliau disapa “Bu”. Ya, Bu lebih tepat.  Si nenek ini pastilah dulunya GURU.  Ia bertutur bijak layaknya guru. Berjalan tenang dan berwibawa. Ramah dan murah senyum. Menyenangkan sekali.

Hidupnya mungkin bahagia, sehingga ia tetap sehat lahir dan batin. Di usia lebih 60 tahun, ia tetap segar dan kuat. Salut.

Tentu saja seorang guru hidupnya bahagia. Anak orang lain yang dididik dan diajarnya. Mengajar berbagai kepandaian dan ilmu. Mendidik berbagai sopan santun dan tingkah laku. Berharap dan berdoa agar ‘anak – anak orang lain’ itu kelak menjadi ‘orang’. Jika benar sebagian anak didiknya sukses, di situlah bahagianya tak terkira.  Tak berharap dibalas jasanya. Jika bersua di suatu masa, disapa saja, sudahlah lebih berharganya ia. 

Pikiran saya lalu mencari-cari sosok guru saya hari ini yang serupa dengan Si Nenek Guru. Susah, belum sampai hitungan di lima jari, sudah banyak pula cacat dan kurangnya criteria ideal Sang Guru. Ah, ini baru melihat si Nenek Guru, bagaimanalah Oemar Bakri ya? Salam dan doa saya kepada guru-guru dimana pun berada… :)


No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...