29.6.16

Review Buku: Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis


Judul buku  :  DI TEPI SUNGAI PIEDRA AKU DUDUK DAN MENANGIS
                     NA MARGEM DO RIO PIEDRA EU SENTEI E CHOREI
Penulis       :   Paulo Coelho
Penerbit     :   Gramedia Pustaka Utama
Tebal         :    224 halaman

Hiduplah. Mengenang hanya untuk orang-orang tua.  

Mungkin cinta membuat kita menua sebelum waktunya -atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat. Namun mana mungkin aku tidak mengenang saat-saat itu? Itulah sebabnya aku menulis---mencoba mengubah getir menjadi rindu, sepi jadi kenangan. Sehingga ketika aku selesai menceritakan kisah ini pada diriku sendiri, aku bisa melemparkannya ke Piedra. [h. 14]

***
Paulo Coelho. Nama yang mengingatkan saya, atas jasa besarnya yang tak terduga, untuk Sonia adiknya. Sonia memenangkan lomba esai hanya dengan bermodalkan tulisan kakaknya, yang sudah dibuang ke tong sampah. Namanya sejak lama, digandeng dengan Sang Alchemist. Buku yang banyak dibaca di seluruh dunia.

Ada legenda bahwa segala sesuatu yang jatuh ke Sungai Piedra ini seperti dedaunan, serangga, ataupun bulu burung akan berubah menjadi batu yang membentuk dasar sungai. Kalau saja aku dapat mengeluarkan hatiku dan melemparkannya ke arus, maka kepedihan dan rinduku akan berakhir, dan akhirnya aku melupakan semuanya. Demikian ditulis Paulo Coelho di bagian awal novel ini. 

Ditepi sungai Piedra aku duduk dan menangs ini, berkisah tentang Pilar dan  teman lelaki masa kecilnya, yang mengikuti perjalanan takdir. Mempertemukan, lalu menyatukan. Memberi konflik, lalu mengikhlaskan. Memahami makna cinta yang lebih agung, daripada hasrat dan nafsu manusiawi.

Latar belakang Coelho bertemu dengan Christina Oiticica, seorang teman lama yang kemudian menjadi istrinya, barangkali menjadi ide utama kisah ini. Sastrawan Brasil ini, melalui novel-novelnya begitu piawai merangkai kata memberi definisi dan makna rasa. Baik rasa indah bagi orang yang tengah jatuh cinta, maupun kepedihan yang dirasakan orang yang sedang patah hati.

“Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.”

Seorang Pilar, sedang melanjutkan sekolahnya di Zaragosa. Dan, si Lelaki yang tak pernah disebutkan namanya, menyibukkan diri dengan kegiatan keagamaan Kristen dan seringkali memberi 'kuliah'. Pertemanan masa kecil mereka terus berlanjut, melalui surat-surat di antara mereka.

“Namun cinta itu mirip bendungan: jika kau membiarkan satu celah kecil yang hanya bisa dirembesi sepercik air, percikan itu akan segera meruntuhkan seluruh bendenungan, dan tak lama kemudian tak seorang pun bisa mengendalikan kekuatan arusnya. Setelah bendungan itu runtuh, cinta pun mengambil kendali, dan apa yang mungkin ataupun tidak, tak lagi berarti; bahkan bukan masalah apakah orang yang kita cintai itu tetap di sisi kita atau tidak. mencintai berarti kehilangan kendali.” 
Pilar dan lelaki itu dihadapkan pada konflik. Pilar, menolak hatinya dan mengedepankan logika. Sedangkan si lelaki, diharuskan memilih, melanjutkan kehidupan religiusnya atau memilih hidup normal dengan wanita yang sejak lama ia cintai. Masing-masingnya hanya mencoba mengikuti, bagaimana takdir mengantarkan. 

Perjalanan pun dimulai. Ada banyak tempat-tempat suci dan ritual reliji yang disebutkan dalam bagian ini.

Akhir dari perjalanan mereka seperti memberi konklusi bahwa, si lelaki tak perlu meninggalkan 'tanggung jawab' yang diberikan Tuhan kepadanya, memberi pelayanan, dan memilih wanita itu. Atau sebaliknya, memilih aktifitas agamanya, dan melupakan cinta yang sejak lama ia simpan dan terus inginkan. Ia akhirnya diberi kesempatan, melayani Tuhan justru dengan mengikuti hatinya, yakni mencintai Pilar. Di sini terlihat begitu kental nuansa beragama si Penulis.
"Cintamu menyelamatkan aku dan mengembalikan aku ke mimpiku." 

**
“Cinta sejati adalah penyerahan diri seutuhnya. Mencintai adalah melebur dengan orang yang kita cintai dan menemukan percikan Tuhan di dalam dirinya.” 
Novel ini secara umum bercerita tentang keikhlasan /penyerahan diri. Saya membaca buku ini tanpa jeda melakukan apa-apa selain ingin meneruskan ke halaman berikutnya, halaman berikutnya lagi. Bukan karena penasaran bagaimana ending kisahnya. Tapi karena merasa ikut hadir bersama, mendengarkan percakapan-percakapan. Ditambah lagi dengan perlunya membaca berulang. Disebabkan banyaknya kutipan dan quote tentang makna, dengan bahasa sastrawi yang perlu dibaca lagi, agar tak rancu memahami. Ya, seperti novel terjemahan lainnya. (*)


No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...