23.2.10

TENTANG BAHASA ARAB DI KAMPUS ISLAMI

Miris juga hati ini ketika mendengar apa yang disampaikan Dr. Bukhari,  M.Ag pada workshop bahasa arab di Gedung Rohana Kudus (20/02) lalu. “Dari sekian lokal C pada bahasa arab intensif mahasiswa IAIN tahun 2010 ini, sepertiganya mendapat nilai 0 (nol)”.


Bagi saya yang terbayang saat itu adalah, jika yang mahasiswa tersebut adalah saya, apa yang akan terjadi. Untung saja, ternyata bukan saya. Karena ada sederet alasan yang menyebabkan keberuntungan berpihak pada saya. Pertama, karena saya adalah alumni madrasah yang juga memperhatikan bahasa arab di Padang Panjang sana. Sementara rekan-rekan mahasiswa –sebutlah yang bernasib malang- itu adalah mereka yang sebagian besar adalah lulusan sekolah menengah umum.


Kedua, beruntungnya saya karena sempat memiliki perhatian dan ketertarikan pada pelajaran ini. Sementara barangkali rekan-rekan mahasiswa yang sedang tidak bernafsu terhadap bahasa Al quran tersebut, tidak sedari awal memang tidak berkeinginan untuk berkenalan dengan bahasa arab. Bahwa IAIN adalah institusi agama yang sangat identik dengan bahasa arab, mungkin saja tidak diketahui oleh mereka yang telah memilih kampus ini sebagai pilihan pendidikannya. Atau barangkali, yang berkeinginan adalah orang tua mereka, yang telah memaksakan anak-anak mereka untuk memenuhi harapan dan keinginan  mereka.

Pada kesempatan lain, ironis juga bagi saya ketika sebuah tulisan yang semula berbahasa arab, kemudian dengan satu kepentingan di print oleh orang lain. Hasilnya bukan lagi tulisan berbahasa arab, melainkan sususan simbol-simbol  huruf arab. Kaitannya adalah, bahwa bahasa arab tidak terprogram di laptop/computer ‘penting’ tersebut. Kedua, memang yang ‘berkapasitas’ memprint tulisan tersebut tidak mengerti bahasa arab. Padahal saya yakin profesinya itu membutuhkan pengetahuan dan kemampuan bahasa arab. Hmh.


Lain lagi kisah tentang seorang teman yang tengah bergabung bersama juru berita. Ketika suatu kali si teman diminta mewawancarai seorang Warga Negara Asing yang tertangkap menyelundupkan shabu-shabu di Bandara Internasional Minangkabau. Kontan saja si teman, menolak. Bukan apa-apa, memang karena ia –entah secara mental atau memang kapabilitas- tidak mampu berbicara dengan penyelundup yang hanya mengerti dan bisa berbahasa Arab itu. Tersadar akan minus kualitas tersebut, si teman baru mulai melirik bahasa yang katanya internasional kedua itu.

Tiga kasus terdahulu saling kait dengan institusi agama tertua di Sumatera ini. Terkait bukan berarti disitu kesalahannya. Toh, dahulu ketika ranah ini belum memiliki institusi Islam, sudah ternama banyaknya ulama yang mahir dalam ilmu ini. Maka ketika sekarang lebih kurang 43 tahun usianya, ia sedikit terluka. Terluka pada bagian tubuh yang maklum dikenal orang.

Barangkali ini adalah salah satu catatan luka di kampus Mahmud Yunus (pakar bahasa arab) ini. Untuk itu, agar luka ini tidak semakin meruyak, secepatnyalah diobati.&

Pendirian balai penelitian bahasa di IAIN adalah salah satu penawarnya. Ada pula tambahan vitamin melalui studi komparatif yang difasilitasi IAIN untuk 30 orang dosen bahasa arab ke berbagai universitas dari berbagai fakultas, juga sudah diberikan. Ditambah lagi pelatihan dan workshop yang telah diikuti oleh dosen dan mahasiswa.


Kiranya langkah-langkah tersebut sudah cukup menjadi penawar perih pada luka yang menggores di IAIN ini. Hanya saja, dibutuhkan komitmen, konsistensi dan kemauan perubahan yang besar, yang tidak hanya dari para Profesor Bahasa Arab yang prihatin melihat kondisi ini lalu mengabdikan diri pada bidang keilmuan ini. Pun dari seluruh civitas akademika yang bersinggungan dengan kampus islami ini. Dosenkah, mahasiswakah, karyawan dan lain sebagainya.

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...