7.11.12

Jangan Jadi Guru Jika Mudah Jenuh



Pernahkah Anda merasa sangat bosan dan jenuh dengan pekerjaan?

Setiap manusia dibekali akal dan nafsu. Akal berguna untuk menuntunnya terus berpikir dan berpikir. Sedang nafsu dalam standar positif memacu akal untuk terus mencari, memenuhi rasa ingin tahu, dan terus seperti itu. Jika akal dan nafsu tidak berjalan seiring, di situlah munculnya bosan/jenuh.

Bosan terhadap pelajaran ataupun pekerjaan adalah hal yang wajar. Sebab bosan dan jenuh adalah bentuk respon dari ketidak seimbangan jalan kedua bekal manusia tadi. Jika akal berpikir tentang sesuatu, dan sudah menemukan jawaban, pengertian dan makna, maka akan muncul bosan. Jika nafsu tidak mampu mendorong akal untuk terus berpikir dan mencari tahu, di sana muncul kejenuhan.

Beberapa hari ini, penyakit inilah yang membuat saya begitu menderita. Saya bosan dengan semua aktifitas dan rutinitas pekerjaan. Meski ada berbagai factor pemicu, saya kira yang utama dari semua ini adalah mengeringnya rasa ingin tahu di dalam pikiran saya saat ini.

Sebagai seorang guru, mestinya hal itu tidak terjadi. Karena sejatinya guru ibarat mata air yang tak boleh kering. Dengan tugas mulia –medidik- itu, guru berkewajiban mentransfer tidak saja pengetahuan kepada siswa, tetapi juga membangun pola pikir, mengajak terus berpikir dan mengerti, tidak saja tentang cakupan kecil pelajarannya, melainkan lebih luas dalam kehidupannya.

Saya juga tahu, bahwa haram hukumnya bagi guru melalaikan tugas dan tanggung jawab mengajarnya. Haram bagi dirinya untuk meninggalkan anak-anak antusias itu tanpa bimbingannya.

Dan, klimaks kejenuhan saya itu agaknya adalah hari ini. Hari ini saya putuskan untuk meninggalkan semuanya. Saya tak datang ke sekolah. Mencoba mencari kerinduan pada profesi mulia itu. Sekedar ingin tahu, bagaimana rasanya jika tanggung jawab tidak ditunaikan. Bagaimana jadinya hati dan pikiran jika anak-anak diabaikan.

Barangkali hal seperti ini tidak hanya terjadi pada diri saya sendiri. Saya yakin, -sungguh-, ada sekian guru lain yang juga sedang merasakan kegalauan seperti ini. Apa sebetulnya  yang bermasalah? Rasa tanggung jawab guru yang menurunkah? Atau kontrol dan kebijakan yang melonggar? Beban yang terlalu memberatkan?

Jika didasarkan pada PERATURAN BERSAMA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL DAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN JABATAN FUNGSIONAL GURU DAN ANGKA KREDITNYA maka guru didefinisikan sebagai berikut:

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Dari pengertian ini, dapat diklasifikasikan tugas guru menjadi (1) mendidik, (2) mengajar, (3) membimbing, (4) mengarahkan, (5) melatih, (6) menilai dan (7) mengevaluasi. Masing-masing kegiatan itu mesti dijalankan sepenuhnya oleh guru.
Selain itu, Permenpan ini juga mengatur tentang beban kerja guru;
Beban kerja Guru untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan/atau melatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.

Perlu digarisbawahi, bahwa jam tatap muka guru paling sedikit adalah 24 jam, dan paling banyak adalah 40 jam. Di sekolah-sekolah negeri, proses belajar mengajar rata-rata berlangsung sebanyak 8 jam per harinya. Maka sesuai dengan peraturan tersebut, setidaknya guru mesti mengadakan tatap muka sebanyak tiga hari non-stop. Ini baru untuk tugas mengajar dan mendidik.

Guru juga diamanahkan menjadi seorang pembimbing. Kegiatan bimbingan ini, tidak mutlak dilakukan di sekolah. Kemajuan teknologi dan informasi telah memudahkan komunikasi guru dengan peserta didik. Bisa dengan tugas mandiri, tugas tidak terstruktur yang diberikan, dan ditindak lanjuti dengan komunikasi via email, atau sarana online lainnya.

Proses bimbingan terhadap mata pelajaran yang diasuh, jelas menjadi bagian tugas pokok dan fungsi guru.  Juga bukan diragukan lagi, membimbing mental peserta didik adalah bagian tugas guru. Mengarahkan siswa kepada kecendrungan dan gaya belajarnya.

Proses belajar mengajar agar berjalan maksimal tentu harus disiapkan dengan baik. Perangkat mengajar ibarat cangkul para petani. Sekolah kiranya perlu memudahkan urusan ini untuk guru.

Bagi mata pelajaran tertentu, diperlukan bahan ajar yang disusun oleh guru melalui melalui kegiatan MGMP. Modul perlu disiapkan. Soal serta analisis validitasnya. Bagaimana bentuk evaluasi yang akan dilakukan, dan lain sebagainya.

Ada lagi tugas lainnya, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Penilaian tertulis tentang kemampuan kognitif siswa, afektif, maupun psikomotorik harus disertakan.

Analisis-analisis, yang semua itu, hendaknya tidak sekedar dibuat bukan? Tujuan umumnya analisis dilakukan adalah agar guru dapat mengetahui segala kelemahannya dalam mengajar, lalu memperbaiki, mengantisipasi agar tak terulang, menganalisa lagi, memperbaiki lagi. Demikian seterusnya agar dicapai pendidikan yang terbarukan. 

Belum lagi dengan segala urusan administrasi sekolah lainnya. Sekolah mau unggul di suatu bidang, tak lain kepanitiaannya adalah guru. Kegiatan-kegiatan ekstra yang disiapkan untuk memunculkan dan mengarahkan bakat dan minat anak, juga menjadi area amanah guru. Lomba, olimpiade, dan pertandingan untuk mengharumkan nama sekolah, jelas juga di bawah bimbingan guru. Ini semua bukankah di luar yang 24 jam tadi?

Apapun pekerjaan supaya menjadi tak jenuh, memang atas kesenangan. Saya tak banyak melihat guru yang tidak senang/menyesal menjadi guru karena harus berlarut-larut mengecek tugas dan latihan siswa. Memeriksa evaluasi berupa ulangan harian, ujian blok, ulangan  tengah semester, dan ujian semester siswanya.  Semua tetap dilaksanakan.

Memang tidak mungkin peraturan -24 s/d 40 jam- ini dibuat tanpa pertimbangan. Hanya saja, mungkin pertimbangan pembuat kebijakan tidak sesuai dengan harapan para pelaksana di sekolah. Kita belum tahu, kurikulum baru yang sedang disiapkan itu apakah peduli pada guru atau tidak.

Berprofesi sebagai guru nyatanya memang harus karena panggilan hati. Sungguh memprihatinkan sekali jika siswa yang ingin tahu, tidak mendapatkan apa yang diinginkannya dari guru. Siswa tidak beroleh bimbingan yang maksimal, nilai yang pantas, evaluasi yang benar dari gurunya. Lebih memprihatinkan lagi, jika guru jenuh lalu tak bersemangat mengajar.

Jika gampang jenuh, lebih baik tak usah menjadi guru.  Atau kita perlu sedikit berdiplomasi dengan pertanyaan; pantaskah kiranya guru kemudian jenuh? Jawaban sementara hanya: JANGAN JADI GURU JIKA MUDAH JENUH!



No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...