2.7.12

Catatan Kedua : Buku 'Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah'


Judul               : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis             : Tere-Liye      
Penerbit           : Gramedia, Jakarta
Th. Terbit        : Januari, 2012
Hal.                 : 507 hal.
            

Petuah Cinta Borneo; Si Bujang Berhati Paling Lurus Sepanjang Kapuas

Borneo atau nama lain Kalimantan adalah juga nama tokoh utana kisah cinta ini. Ia seorang pemuda yang terkenal baik, bekerja sebagai pengemudi sepit di Pontianak. Suatu kali, sepitnya ditumpangi Mei, gadis keturunan Cina yang kemudian dengan sengaja menjatuhkan sebuah amplop merah seperti angpau. Borno hendak mengembalikan angpau itu kepada sang gadis. Ia ingat gadis berbaju kurung kuning itulah yang duduk di tempat tersebut. Namun urung, ia berpikir angpau itu sama saja dengan angpau lain yang dibagikan Mei.  

Ketika berumur 12 tahun, Borno tak rela ayahnya dibuat meninggal oleh dokter. Menurut Borno, ayahnya masih bisa ditolong setelah disengat ubur-ubur itu. Tapi seorang dokter  malah menetapkan bahwa ayahnya sudah meninggal dan akan mendonorkan jantungnya kepada seseorang. Dokter itu adalah Mama Mei.
Dalam perjalanan hidup setelah operasi donor itu, Mama Mei merasa bersalah terhadap apa yang dilakukannya. Ia tak tersadar saat melihat Borno yang menangis, berteriak-teriak dan berontak saat operasi dilakukan. Mama Mei tersiksa dengan penyesalan yang terus menghantuinya. Terlalu egois untuk sebuah prestasi. 

Akhirnya Mama Mei meninggal dunia dalam keadaan yang lemah dan bertambah-tambah akibat depresi berat. Mei mengetahui hal itu lewat catatan harian mamanya. Ia merasa harus menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf Mamanya kepada Borno dan keluarganya. Mei pun menemukan Borno di Pontianak sebagai seorang pengemudi sepit. Maka dengan cara menulis surat dan menjatuhkan di dasar sepit itulah Mei berani menyampaikan permintaan maafnya. 

Mei selalu menumpangi sepit Born(e)o. Dari kebiasaan itu, cinta tumbuh di antara mereka. Sayangnya, Papa Mei melarang hubungan mereka dengan alasan mereka akan saling tersakiti. Mei memutuskan pergi. Pulang ke Surabaya. Borno dibuat bingung dengan langkah Mei. Ia tak mengerti alasan-alasan hingga Mei bersikap begitu dan memutuskan pergi. Atas saran dan petuah cinta Pak Tua, ia terus bersabar menanti dan tetap menjalani hari-hari sebagai bujang berhati paling lurus sepanjang Kapuas. Meski begitu, ia terus berharap jawaban-jawaban dan penjelasan Mei. 

Akhirnya, setahun kepergian Mei, Bibi Mei memberitahu Borno bahwa Mei jatuh sakit. Sudah tiga bulan lamanya. Bibi itu mengingatkan Borno tentang amplop angpau merah yang pernah ia temukan dulu. Dari surat itulah bermula perkenalan diri dan permintaan maaf Mei kepada Borno, yang kemudian menumbuhkan rasa cinta diantara mereka. Borno menemukan banyak jawaban dan alasan kepergian Mei lewat surat itu.
Sebetulnya Borno tahu, Bapaknya ikhlas dengan donor jantung saat itu. Ia pun telah menjalani kehidupan yang baik di kemudian hari, bersama Ibu, Pak Tua, Koh Acong, Cil Tulani, Andi, Bang Togar dan orang-orang gang sempit yang menjadi bagian keluarga besarnya. 

Dalam kisah ini, cinta tak mengenal dendam. Borno berjanji untuk selalu mencintai Mei. Ia datang ke Surabaya menemui Mei. Cinta Mei dan Borno telah melebur masa lalu, dan menghapus sendu nan misterius di wajah Mei.  

***

Selalu ada warna berbeda dalam setiap karya Tere Liye. Pertama, novel-novel karya penulis yang bernama lain Darwis-darwis ini berkisah seputar cerita cinta dan romantika sosial. Sederhana. Tentang keluarga, kakak-adik, persahabatan dan nuansa Indonesia multi ras/suku. Semuanya tersaji lewat cerita keseharian yang memikat.

Meskipun sederhana, disinilah hebatnya Tere Liye. Ia bisa menyajikan kisah cinta nan romantis dengan bahasa yang memberi warna orisinil ‘kedaerahan’, asik, gaul dan tetap sopan. Makna cintanya tetap tersampaikan meski tanpa bahasa yang vulgar. 

Cerita cinta yang realistis, penuh pengorbanan, kesetiaan dan ketulusan juga hadir di setiap karyanya. Rembulan Tenggelam di Wajahmu misalnya, penulis menceritakan tentang perjuangan cinta Ray, dan kesungguhan si tokoh utama menjawab lima pertanyaan tentang makna kehidupannya. Sarat pelajaran hidup. Pun melalui novel Senja/Sunset Bersama Rosie, penulis mengisahkan tentang takdir cinta yang kembali mempertemukan Tegar dan Rosie. Takdir menyatukan mereka dalam cinta bentuk lain. Jangan salahkan bila Anda berlinang air mata –jika tak menangis tersedu- setelah membaca halaman terakhirnya. Meski tak sedikit pula yang protes dengan ending tak adil terhadap Sekar itu.

Siapa yang menduga, akhirnya Mei dan Borno bertemu di ujung kesabaran Borno? Ini juga hal lain yang membuat pembaca tak cepat jenuh. Selalu menanti-nanti bagian berikutnya dan ujung cerita. Alur yang unpredictable. Selalu ada kejutan. Bahkan untuk akhir cerita yang happy ending sekali pun. Tetap saja memantik api penasaran Anda.

Tere Liye menggambarkan karakter yang kuat  pada tokoh utama dalam novelnya. Seperti, sifat wajib seorang lelaki hebat tokohnya adalah yang memiliki sifat pekerja keras, mau belajar, penuh semangat, boleh juga workaholic, penuh dedikasi, mencintai keluarganya dan tentu saja jujur. Nilai kejujuran tertanam dalam banyak  karya penulis. Ia konsisten untuk yang satu ini. Edukatif sekali. Layak dibaca berbagai kalangan.
Kali ini, lewat buku Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, kejujuran dan sifat-sifat lelaki hebat itu dimiliki oleh Borno, bujang berhati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Gelar/laqab yang selalu dibuat pas untuk tokohnya. 

Setting latar diceritakan dengan lengkap dan detail. Pembaca merasa benar hadir, berhulu-hilir di sungai Kapuas. Membayangkan pula hidup di tengah realitas sebuah gang sempit di dermaga kota Pontianak.
Inilah karya Tere Liye yang banyak mengandung petuah cinta. Ia dihadirkan melalui kebijakan tokoh Pak Tua. Pas untuk mereka yang sedang galau, pelipur lara bagi mereka yang sedang dirundung kesedihan dan patah hati. Atau yang sedang berbunga-bunga, dimabuk cinta. Bahkan juga yang hambar, tak kunjung menemukan pahit manisnya rasa cinta itu. 

“Camkan bahwa cinta adalah perbuatan. Nah, dengan demikian, ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencinta tanpa selalu memberi” (Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah; 168)

 “Pak tua pernah bilang, benci atau suka itu relatif. Lama-lama terbiasa, lama-lama jatuh cinta. Kalau perasaan saja bisa menyesuaikan diri begitu hebat, apalagi hidung.” [hal. 23]

Ini resep rahasia milik Pak Tua. Kalian bisa tiru kapan saja, manjur nan mujarab. Jika kalian berurusan dengan polisi lalu lintas atau satpam galak tanpa senyum, salah dia dengan menyebut namanya, bersahabat, maka urusan jadi gampang seketika.” [hal. 25]

Cinta sejati adalah perjalanan, Andi. Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekadar muara. Air di lau akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung yang tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus yang tak pernah berhenti, begitu pula cinta.” [hal. 168]

“Camkan, bahwa cinta adalah perbuatan. Nah, dengan demikian, ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi.” [hal. 168]
 “Ah, sakit perasaan memang kadang bisa membuat badan ikut sakit. Menghela nafas terasa berat, menjalankan sepit terasa suram, sepi di tengah keramaian, dan sebaliknya ramai di tengah kesepian. Duhai, hati yang memendam rindu.” [hal. 249]

 “Menurut orang tua ini, setidaknya setiap detik ada tiga orang yang jatuh cinta. Tiga orang pula yang patah hati. Dengan demikian, satu jam berarti ada sepuluh ribu, satu hari berarti dua ratus ribu pasangan yang jatuh cinta dan patah hati.” [hal. 257]

“Camkan ini, Borno. Banyak sekali orang yang jatuh cinta lantas sibuk dengan dunia barunya itu. Sibuk sekali, sampai lupa keluarga sendiri, teman sendiri. Padahal siapalah orang yang tiba-tiba mengisi hidup kita itu? Kebanyakan orang asing, orang baru.” [hal. 257]

 “Jika kau tiba-tiba memaksa bertanya, meminta penjelasan sekarang juga, kau hanya membuat gelas retak itu jadi pecah”. [hal. 400]

“Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi dipamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu.” [hal. 428]

Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan hati kau diracuni harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti itu, menyakitkan. [hal. 429]

Cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati...Coba saja kau cueki, kaulupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu seperti kau bosan makan gulai kepala ikan. [hal. 430]
Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Saat itu belum tiba, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang. [hal. 430]

“Camkan ini, anakku. Ketika situasi memburuk, ketika semua terasa berat dan membebani, jangan pernah merusak diri sendiri. Orang tua ini tahu persis. Boleh jadi ketika seseorang yang kita sayangi pergi, maka separuh hati kita seolah tercabik ikut pergi. Kautanyakan pada ibu kau, itulah yang dia rasakan saat bapak kau dibelah dadanya, diambil jantungnya, pergi selamanya. Tapi kau masih memiliki separuh hati yang tersisa, bukan? Maka jangan ikut merusaknya pula. Itulah yang kau punya sekarang. Satu-satunya yang paling berharga.” [hal. 479] 



No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...