Judul
: Kau, Aku, dan Sepucuk
Angpau Merah
Penulis : Tere-Liye
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Th.
Terbit : Januari, 2012
Hal.
: 507 hal.
Petuah Cinta Borneo; Si Bujang Berhati Paling
Lurus Sepanjang Kapuas
Borneo atau nama lain Kalimantan adalah juga nama tokoh
utana kisah cinta ini. Ia seorang pemuda yang terkenal baik, bekerja sebagai
pengemudi sepit di Pontianak. Suatu kali, sepitnya ditumpangi Mei, gadis
keturunan Cina yang kemudian dengan sengaja menjatuhkan sebuah amplop merah
seperti angpau. Borno hendak mengembalikan angpau itu kepada sang gadis. Ia
ingat gadis berbaju kurung kuning itulah yang duduk di tempat tersebut. Namun
urung, ia berpikir angpau itu sama saja dengan angpau lain yang dibagikan Mei.
Ketika berumur 12 tahun, Borno tak rela ayahnya dibuat
meninggal oleh dokter. Menurut Borno, ayahnya masih bisa ditolong setelah
disengat ubur-ubur itu. Tapi seorang dokter malah menetapkan bahwa ayahnya sudah meninggal
dan akan mendonorkan jantungnya kepada seseorang. Dokter itu adalah Mama Mei.
Dalam perjalanan hidup setelah operasi donor itu, Mama
Mei merasa bersalah terhadap apa yang dilakukannya. Ia tak tersadar saat
melihat Borno yang menangis, berteriak-teriak dan berontak saat operasi
dilakukan. Mama Mei tersiksa dengan penyesalan yang terus menghantuinya. Terlalu
egois untuk sebuah prestasi.
Akhirnya Mama Mei meninggal dunia dalam keadaan yang
lemah dan bertambah-tambah akibat depresi berat. Mei mengetahui hal itu lewat
catatan harian mamanya. Ia merasa harus menyampaikan penyesalan dan permintaan
maaf Mamanya kepada Borno dan keluarganya. Mei pun menemukan Borno di Pontianak
sebagai seorang pengemudi sepit. Maka dengan cara menulis surat dan menjatuhkan
di dasar sepit itulah Mei berani menyampaikan permintaan maafnya.
Mei selalu menumpangi sepit Born(e)o. Dari kebiasaan itu,
cinta tumbuh di antara mereka. Sayangnya, Papa Mei melarang hubungan mereka
dengan alasan mereka akan saling tersakiti. Mei memutuskan pergi. Pulang ke
Surabaya. Borno dibuat bingung dengan langkah Mei. Ia tak mengerti alasan-alasan
hingga Mei bersikap begitu dan memutuskan pergi. Atas saran dan petuah cinta
Pak Tua, ia terus bersabar menanti dan tetap menjalani hari-hari sebagai bujang
berhati paling lurus sepanjang Kapuas. Meski begitu, ia terus berharap
jawaban-jawaban dan penjelasan Mei.
Akhirnya, setahun kepergian Mei, Bibi Mei memberitahu Borno
bahwa Mei jatuh sakit. Sudah tiga bulan lamanya. Bibi itu mengingatkan Borno
tentang amplop angpau merah yang pernah ia temukan dulu. Dari surat itulah
bermula perkenalan diri dan permintaan maaf Mei kepada Borno, yang kemudian
menumbuhkan rasa cinta diantara mereka. Borno menemukan banyak jawaban dan
alasan kepergian Mei lewat surat itu.
Sebetulnya Borno tahu, Bapaknya ikhlas dengan donor
jantung saat itu. Ia pun telah menjalani kehidupan yang baik di kemudian hari,
bersama Ibu, Pak Tua, Koh Acong, Cil Tulani, Andi, Bang Togar dan orang-orang
gang sempit yang menjadi bagian keluarga besarnya.
Dalam kisah ini, cinta tak mengenal dendam. Borno
berjanji untuk selalu mencintai Mei. Ia datang ke Surabaya menemui Mei. Cinta
Mei dan Borno telah melebur masa lalu, dan menghapus sendu nan misterius di
wajah Mei.
***
Selalu ada warna berbeda dalam setiap karya Tere Liye. Pertama,
novel-novel karya penulis yang bernama
lain Darwis-darwis ini berkisah seputar cerita cinta dan romantika sosial. Sederhana.
Tentang keluarga, kakak-adik, persahabatan dan nuansa Indonesia multi
ras/suku. Semuanya tersaji lewat cerita keseharian yang
memikat.
Meskipun
sederhana, disinilah hebatnya Tere Liye. Ia
bisa menyajikan
kisah cinta nan romantis dengan bahasa yang memberi warna orisinil ‘kedaerahan’, asik, gaul dan tetap sopan. Makna cintanya tetap tersampaikan meski
tanpa bahasa yang vulgar.
Cerita
cinta yang realistis, penuh pengorbanan, kesetiaan dan ketulusan juga hadir di
setiap karyanya. Rembulan Tenggelam di Wajahmu misalnya, penulis menceritakan
tentang perjuangan cinta Ray, dan kesungguhan si tokoh utama menjawab lima
pertanyaan tentang makna kehidupannya. Sarat pelajaran hidup. Pun melalui novel Senja/Sunset Bersama Rosie,
penulis mengisahkan tentang takdir cinta yang kembali mempertemukan Tegar dan
Rosie. Takdir menyatukan mereka dalam cinta bentuk lain. Jangan salahkan bila Anda
berlinang air mata –jika tak menangis tersedu- setelah membaca halaman terakhirnya. Meski tak sedikit pula yang
protes dengan ending tak adil terhadap Sekar itu.
Siapa yang menduga, akhirnya Mei dan Borno bertemu di
ujung kesabaran Borno? Ini juga hal
lain yang membuat pembaca tak cepat jenuh. Selalu menanti-nanti bagian berikutnya dan
ujung cerita. Alur yang unpredictable.
Selalu ada kejutan. Bahkan untuk akhir cerita yang happy ending sekali pun. Tetap
saja memantik
api penasaran Anda.
Tere Liye
menggambarkan karakter yang kuat pada tokoh utama dalam novelnya. Seperti, sifat wajib seorang lelaki hebat tokohnya
adalah yang memiliki sifat pekerja keras, mau belajar, penuh semangat, boleh
juga workaholic, penuh dedikasi, mencintai keluarganya dan tentu saja jujur.
Nilai kejujuran tertanam
dalam banyak karya penulis. Ia konsisten
untuk yang satu ini. Edukatif sekali. Layak dibaca berbagai kalangan.
Kali
ini, lewat buku Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, kejujuran dan sifat-sifat
lelaki hebat itu dimiliki oleh Borno, bujang berhati paling lurus di
sepanjang tepian Kapuas. Gelar/laqab yang selalu dibuat pas untuk tokohnya.
Setting
latar diceritakan dengan lengkap dan detail. Pembaca merasa benar hadir,
berhulu-hilir di sungai Kapuas. Membayangkan pula hidup di tengah realitas sebuah gang sempit di dermaga kota
Pontianak.
Inilah karya Tere Liye yang banyak mengandung petuah
cinta. Ia dihadirkan melalui kebijakan tokoh Pak Tua. Pas untuk mereka yang
sedang galau, pelipur lara bagi mereka yang sedang dirundung kesedihan dan
patah hati. Atau yang sedang berbunga-bunga, dimabuk cinta. Bahkan juga yang
hambar, tak kunjung menemukan pahit manisnya rasa cinta itu.
“Camkan bahwa cinta adalah perbuatan. Nah, dengan demikian, ingat
baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa rasa cinta, Andi. Tetapi kau tidak
akan pernah bisa mencinta tanpa selalu memberi” (Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah; 168)
“Pak tua pernah
bilang, benci atau suka itu relatif. Lama-lama terbiasa, lama-lama jatuh cinta.
Kalau perasaan saja bisa menyesuaikan diri begitu hebat, apalagi hidung.” [hal.
23]
Ini resep rahasia milik Pak Tua. Kalian bisa tiru kapan
saja, manjur nan mujarab. Jika kalian berurusan dengan polisi lalu lintas atau
satpam galak tanpa senyum, salah dia dengan menyebut namanya, bersahabat, maka
urusan jadi gampang seketika.” [hal. 25]
Cinta sejati adalah perjalanan, Andi. Cinta sejati tidak
pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekadar muara. Air di lau akan
menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung yang tinggi, kembali menjadi
ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi
Kapuas. Itu siklus yang tak pernah berhenti, begitu pula cinta.” [hal. 168]
“Camkan, bahwa cinta adalah perbuatan. Nah, dengan
demikian, ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasa
cinta, Andi. Tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi.”
[hal. 168]
“Ah, sakit
perasaan memang kadang bisa membuat badan ikut sakit. Menghela nafas terasa
berat, menjalankan sepit terasa suram, sepi di tengah keramaian, dan sebaliknya
ramai di tengah kesepian. Duhai, hati yang memendam rindu.” [hal. 249]
“Menurut orang tua
ini, setidaknya setiap detik ada tiga orang yang jatuh cinta. Tiga orang pula
yang patah hati. Dengan demikian, satu jam berarti ada sepuluh ribu, satu hari
berarti dua ratus ribu pasangan yang jatuh cinta dan patah hati.” [hal. 257]
“Camkan ini, Borno. Banyak sekali orang yang jatuh cinta
lantas sibuk dengan dunia barunya itu. Sibuk sekali, sampai lupa keluarga
sendiri, teman sendiri. Padahal siapalah orang yang tiba-tiba mengisi hidup
kita itu? Kebanyakan orang asing, orang baru.” [hal. 257]
“Jika kau
tiba-tiba memaksa bertanya, meminta penjelasan sekarang juga, kau hanya membuat
gelas retak itu jadi pecah”. [hal. 400]
“Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis,
apalagi dipamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia
semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti,
bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu.” [hal. 428]
Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan
hati kau diracuni harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti
itu, menyakitkan. [hal. 429]
Cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati...Coba saja
kau cueki, kaulupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu seperti kau
bosan makan gulai kepala ikan. [hal. 430]
Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau
semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia
tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Saat itu belum tiba,
bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan
segenap perasaan riang. [hal. 430]
“Camkan ini, anakku. Ketika situasi memburuk, ketika
semua terasa berat dan membebani, jangan pernah merusak diri sendiri. Orang tua
ini tahu persis. Boleh jadi ketika seseorang yang kita sayangi pergi, maka
separuh hati kita seolah tercabik ikut pergi. Kautanyakan pada ibu kau, itulah
yang dia rasakan saat bapak kau dibelah dadanya, diambil jantungnya, pergi
selamanya. Tapi kau masih memiliki separuh hati yang tersisa, bukan? Maka
jangan ikut merusaknya pula. Itulah yang kau punya sekarang. Satu-satunya yang
paling berharga.” [hal. 479]
No comments:
Post a Comment