19.7.12

Dialog Panjang; Berkepanjangan



Dialog atau percakapan ini terjadi di negeri kami. Mungkin bisa dikata berkepanjangan beberapa masa terakhir. Masing-masing yang berdialog, mungkin paham apa yang menjadi akar persoalan. Dan secara cerdas mereka tak mempersoalkan perbedaan itu. Yang mempersoalkan adalah, orang yang tak mau adanya perbedaan. Mereka ingin terlihat kompak. Selalu bersama. Kadang, tak semua hal bisa disamakan. Apalagi pada hal yang menjadi pilihan dan keyakinan. 

Nah, bagi yang tak yakin, ya akan aman-aman saja. Tak jadi soal. Karena ia tak memilih. Mana yang terlihat ramai, di sanalah ia berada. Ke mana angin yang kencang, ke situ lah ia berhaluan. 

Bagi yang yakin dengan pilihannya, tentu juga tak masalah. Ia tahu atas apa yang dipilihnya. Tak asal.
Nah, dialog ini bisa saja tak akan berkepanjangan. Tapi...entahlah, kapan, mungkin suatu masa. Ketika ilmu pengetahuan tak bisa membuktikan kebenaran. Ketika semua berkaca pada tradisi semata, pada adat kebiasaan. Mungkin, suatu masa. Saat orang-orang tak mampu lagi memilih dan memilah, apa yang akan dipilihnya. Mungkin suatu masa. Ketika semua orang diharuskan memilih pada satu hal yang sama. Yang serupa. Dan begitulah aturannya.

--------------------------------------- dialog dimulai    -----------------------------------------------
Nah, apa masalahnya?
----
“Dia ndak patuh.”
                “Saya bukan tak patuh. Hanya ingin melakukan yang saya yakini saja. “
“Kamu kurang tahunya, kurang pahamnya mungkin.”
“Barangkali dianggap seperti itu. Tapi, sepanjang jalan ini, saya memilih langkah ini. Dan saya mencoba kommit dengan langkah saya. Tidak lucu kan, kalau sepanjang jalan, saya memilih rel kereta, tiba-tiba dalam hari-hari ini, saya beralih ke aspal. Atau tiba-tiba ada dua ‘hari’ yang sama dalam penanggalan saya sepanjang tahun ini. Ini ibarat rute yang separuhnya sudah saya jalankan, ya, melanjutkan saja kan. Rute anda, ya silahkan dilanjutkan pula.”
“Lihatlah, orang-orang bingung dibuatmu.”
                “Saya tak bermaksud membuat bingung orang-orang.”
“Lalu kenapa membesarkan dan ribet begini urusannnya?”
“Ya, barangkali di antara kita ingin tahu lebih jelas saja, apa alasan perbedaan itu. Mereka juga ingin paham.”
“Ya, kan itu jadi masalah kan?!”
“Siapa bilang itu akan jadi masalah. Mungkin yang tidak terbiasa dengan ke-universal-an saja yang akan mempersoalkan dan memperpanjang urusannya.”
“kalau semua bingung, itu masalah jadinya.”
“Itulah kenapa belajar itu menjadi wajib. Mengetahui yang belum diketahui itu dengan cara belajar. Kita sudah difasilitasi akal dan pikiran, untuk memikirkan ilmu pengetahuan, dan mengkaji sejarah.”
“lihat saja, selalu saja kamu yang berbeda kan?!”
“Sederhana saja, karena kamu sedang berada pada bagian ‘yang menetapkan’. Saya kira kita hanya perlu saling menghargai. Saya menghargai ketetapanmu itu. Dan hendaknya kamu juga menghargai saya tho. Itu saja.”
“Oke, kalau begitu datanglah rapat besok. Jangan berkeras hati, patuhlah pada aturan yang dibuat. Kita bisa jalankan bersama.”
“Buat apa menghadiri rapat yang hanya sekedar mendengarkan keputusan. Kita sedang tidak bersama dalam pendapat. Ya, mari jalankan dan hargai pendapat masing-masing. Begitu mungkin lebih baik. Saya denga rute yang telah saya siapkan jauh sebelum ini, dan kamu denga rute yang akan kamu tetapkan dalam sidang itu. Aman kan.”
“Yah, saya kan sudah bilang. Langkahmu itu, ndak ada dalam sejarah dan tradisi kita. Kamu mbok ya jangan macam-macam toh. Jangan bikin riweuh suasana. Ribut. Bingung. Dari jaman apa, ndak ada yang dijalankan yang kamu bilang itu. Ndak pernah ada.”
“Jika kita sepakat mengatakan bahwa kondisi hari ini tak sama dengan kondisi dulu, tentu kita juga akan sepakati bahwa, cara yang akan digunakan hari ini, mungkin saja juga akan berbeda dengan cara-cara yang digunakan, dilaksanakan pada kondisi dulu itu. Bagaimana akan memaksakan sesuatu pada seorang yang sudah belajar, mengkaji, mencari, dan yakin pada apa yang diketahuinya. Tidak akan mudah mengubah sesuatu dengan memaksa pada orang yang tahu, mengerti, apalagi yakin.”
“Kalau begitu, kenapa kamu ndak mencoba patuhi saja. Toh, patuh itu juga bagian dari aturan kita kan??”
“Ya, itu tadi. Sekedar patuh, itu tidak cerdas, tidak elegan. Kita bisa patuh dan tunduk, jika juga meyakini. Tanpa disuruh pun, jika yakin pastilah patuh. Tapi buat apa melakukan sesuatu jika hati kita sendiri tak pernah tunduk.”

-----------------------------pembicaraan terhenti, tanpa kesimpulan-----------------------------------

Kita menanti mentari terbit esok hari. Tapi kita tak sedang menanti kebenaran yang masih disangsikan. Masing-masing kita berhak dengan apapun bentuk kebenaran yang kita yakini, selagi itu tidak mengubah hal-hal yang menjadi fondasi. Ini hanyalah bagian. Ibarat cabang dari sebuah pohon. Bukan akarnya, bukan batangnya. Menyadari hak sendiri, dan menghargai hak orang lain mungkin kata kunci saat ini. Bukankah begitu salah satu bentuk demokrasi yang diajarkan bangsa ini. 

Maka, biarkan. Biarkan mereka menjalani apa yang diyakini. Kita pun akan begitu. Tak sulit, dan tak perlu diperuncing. Yang salah adalah yang tidak menjalani. Jadi, selagi ia menjalankan, hargailah. Itu pendapatnya.
Seorang yang mau belajar akan lunak hatinya dengan kebenaran yang disampaikan baik dengan dasar ilmu pengetahuan ataupun pelajaran dari tradisi masa lalu. Bukan langsung yakin, pada sesuatu  hanya tersebab itu adalah bagian tradisi. Bukan pula menerima mentah-mentah segala sesuatu hanya karena ia adalah aturan yang berlaku. Dan, aturan yang dibuat itu, bukan berarti nihil kritisi, kan?!


No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...