Dialog atau percakapan ini terjadi di negeri kami. Mungkin
bisa dikata berkepanjangan beberapa masa terakhir. Masing-masing yang
berdialog, mungkin paham apa yang menjadi akar persoalan. Dan secara cerdas
mereka tak mempersoalkan perbedaan itu. Yang mempersoalkan adalah, orang yang
tak mau adanya perbedaan. Mereka ingin terlihat kompak. Selalu bersama. Kadang,
tak semua hal bisa disamakan. Apalagi pada hal yang menjadi pilihan dan
keyakinan.
Nah, bagi yang tak yakin, ya akan aman-aman saja. Tak jadi
soal. Karena ia tak memilih. Mana yang terlihat ramai, di sanalah ia berada. Ke
mana angin yang kencang, ke situ lah ia berhaluan.
Bagi yang yakin dengan pilihannya, tentu juga tak masalah.
Ia tahu atas apa yang dipilihnya. Tak asal.
Nah, dialog ini bisa saja tak akan berkepanjangan.
Tapi...entahlah, kapan, mungkin suatu masa. Ketika ilmu pengetahuan tak bisa
membuktikan kebenaran. Ketika semua berkaca pada tradisi semata, pada adat
kebiasaan. Mungkin, suatu masa. Saat orang-orang tak mampu lagi memilih dan
memilah, apa yang akan dipilihnya. Mungkin suatu masa. Ketika semua orang
diharuskan memilih pada satu hal yang sama. Yang serupa. Dan begitulah
aturannya.
--------------------------------------- dialog dimulai
-----------------------------------------------
Nah, apa masalahnya?
----
“Dia ndak patuh.”
“Saya
bukan tak patuh. Hanya ingin melakukan yang saya yakini saja. “
“Kamu kurang tahunya, kurang pahamnya mungkin.”
“Barangkali dianggap seperti itu.
Tapi, sepanjang jalan ini, saya memilih langkah ini. Dan saya mencoba kommit
dengan langkah saya. Tidak lucu kan, kalau sepanjang jalan, saya memilih rel
kereta, tiba-tiba dalam hari-hari ini, saya beralih ke aspal. Atau tiba-tiba
ada dua ‘hari’ yang sama dalam penanggalan saya sepanjang tahun ini. Ini ibarat
rute yang separuhnya sudah saya jalankan, ya, melanjutkan saja kan. Rute anda,
ya silahkan dilanjutkan pula.”
“Lihatlah, orang-orang bingung dibuatmu.”
“Saya
tak bermaksud membuat bingung orang-orang.”
“Lalu kenapa membesarkan dan ribet begini urusannnya?”
“Ya, barangkali di antara kita
ingin tahu lebih jelas saja, apa alasan perbedaan itu. Mereka juga ingin
paham.”
“Ya, kan itu jadi masalah kan?!”
“Siapa bilang itu akan jadi
masalah. Mungkin yang tidak terbiasa dengan ke-universal-an saja yang akan
mempersoalkan dan memperpanjang urusannya.”
“kalau semua bingung, itu masalah jadinya.”
“Itulah kenapa belajar itu
menjadi wajib. Mengetahui yang belum diketahui itu dengan cara belajar. Kita
sudah difasilitasi akal dan pikiran, untuk memikirkan ilmu pengetahuan, dan
mengkaji sejarah.”
“lihat saja, selalu saja kamu yang berbeda kan?!”
“Sederhana saja, karena kamu
sedang berada pada bagian ‘yang menetapkan’. Saya kira kita hanya perlu saling
menghargai. Saya menghargai ketetapanmu itu. Dan hendaknya kamu juga menghargai
saya tho. Itu saja.”
“Oke, kalau begitu datanglah rapat besok. Jangan berkeras
hati, patuhlah pada aturan yang dibuat. Kita bisa jalankan bersama.”
“Buat apa menghadiri rapat yang
hanya sekedar mendengarkan keputusan. Kita sedang tidak bersama dalam pendapat.
Ya, mari jalankan dan hargai pendapat masing-masing. Begitu mungkin lebih baik.
Saya denga rute yang telah saya siapkan jauh sebelum ini, dan kamu denga rute
yang akan kamu tetapkan dalam sidang itu. Aman kan.”
“Yah, saya kan sudah bilang. Langkahmu itu, ndak ada dalam
sejarah dan tradisi kita. Kamu mbok ya jangan macam-macam toh. Jangan bikin
riweuh suasana. Ribut. Bingung. Dari jaman apa, ndak ada yang dijalankan yang
kamu bilang itu. Ndak pernah ada.”
“Jika kita sepakat mengatakan
bahwa kondisi hari ini tak sama dengan kondisi dulu, tentu kita juga akan
sepakati bahwa, cara yang akan digunakan hari ini, mungkin saja juga akan
berbeda dengan cara-cara yang digunakan, dilaksanakan pada kondisi dulu itu.
Bagaimana akan memaksakan sesuatu pada seorang yang sudah belajar, mengkaji,
mencari, dan yakin pada apa yang diketahuinya. Tidak akan mudah mengubah
sesuatu dengan memaksa pada orang yang tahu, mengerti, apalagi yakin.”
“Kalau begitu, kenapa kamu ndak mencoba patuhi saja. Toh,
patuh itu juga bagian dari aturan kita kan??”
“Ya, itu tadi. Sekedar patuh, itu
tidak cerdas, tidak elegan. Kita bisa patuh dan tunduk, jika juga meyakini.
Tanpa disuruh pun, jika yakin pastilah patuh. Tapi buat apa melakukan sesuatu
jika hati kita sendiri tak pernah tunduk.”
-----------------------------pembicaraan terhenti,
tanpa kesimpulan-----------------------------------
Kita menanti mentari terbit esok hari. Tapi kita tak sedang
menanti kebenaran yang masih disangsikan. Masing-masing kita berhak dengan
apapun bentuk kebenaran yang kita yakini, selagi itu tidak mengubah hal-hal
yang menjadi fondasi. Ini hanyalah bagian. Ibarat cabang dari sebuah pohon.
Bukan akarnya, bukan batangnya. Menyadari hak sendiri, dan menghargai hak orang
lain mungkin kata kunci saat ini. Bukankah begitu salah satu bentuk demokrasi
yang diajarkan bangsa ini.
Maka, biarkan. Biarkan mereka menjalani apa yang diyakini.
Kita pun akan begitu. Tak sulit, dan tak perlu diperuncing. Yang salah adalah
yang tidak menjalani. Jadi, selagi ia menjalankan, hargailah. Itu pendapatnya.
Seorang yang mau belajar akan lunak hatinya dengan kebenaran
yang disampaikan baik dengan dasar ilmu pengetahuan ataupun pelajaran dari
tradisi masa lalu. Bukan langsung yakin, pada sesuatu hanya tersebab itu adalah bagian tradisi.
Bukan pula menerima mentah-mentah segala sesuatu hanya karena ia adalah aturan
yang berlaku. Dan, aturan yang dibuat itu, bukan berarti nihil kritisi, kan?!
No comments:
Post a Comment