22.7.12

Hari Ibu(ku)




Hari ini tanggal 22 Juli. Hari ini adalah hari ibu bagi kami. Ibu dilahirkan pada tanggal ini, 56 tahun yang lalu. Dalam ijazah-ijazah ibu tertulis tanggal lahir beliau adalah 22 Juli 1955, yang benar kata ibu, adalah tahun 1956. Kesalahannya adalah saat ibu mendaftar sekolah dasar dulu. Umurnya dipercepat satu tahun agar bisa lebih cepat masuk sekolah. Ah, bagi kami terserah saja, mau bilangan usia ibu sekarang 56 atau 57, yang jelas ibu kami selalu terasa muda. 

Bagaimana tidak muda. Semua cerita kegiatan sanggar, tari-menari, acara-acara, kesibukan kampus adikku juga menjadi bahan pembicaraan beliau. Apalagi denganku. Cerita apa yang tak terungkap olehku kepada Ibu. Pekerjaan yang setumpuk. Balada buruh negeri ini. Dilema idealisme. Mulai dari organisasi di kampus dulu. Juga untuk urusan jatuh cinta, patah hati, galau dan..dan.. calon pendamping. Kalaulah ada laporan ceritanya, mungkin sudah penuh satu kamar, laporan itu ditanda tangani Ibu.

Ya, hanya soal calon pendamping itulah aku sadar Ibu sudah tak semuda dulu. Karena memikirkan beliau di masa depan, kadang aku takut membahas itu. Aku ingin pause kan kehidupan pada masa ini saja. Sudah bahagia rasanya hidup di tahun ini. Setelah melewati waktu-waktu sesak. Memang kehidupan berlalu begitu cepat setelah kesedihan melanda.
Sore ini, Ibu menyinggung hal itu. Ibu meminta aku mempertimbangkan soal lanjut sekolah atau’ hal itu’ dulu. Aku mencoba berargumen. Memberi penjelasan semenarik dan serasional mungkin. Walaupun, kadang aku juga sependapat dengan ibu. Usia yang dirasa pas. Tapi, bagaimanalah. Belum waktunya saja mungkin. 

Aku yakin, Ibu atau Mama kalian juga pastilah hebat. Setiap bertemu dengan sebuah keluarga, yang selalu jadi perhatianku adalah induak bareh di rumah itu. Sehebat apapun Ayah, Bapak atau Papa kalian, mestilah ada perempuan yang menghebatkannya. Ada Ibunya, ada ibu kita. Yang kemudian sangat berperan untuk kehidupan dewasanya, ya, jelas ibu kita.

Lihatlah, untuk urusan sederhana saja di rumah, Ayah bisa sangat panik. Letak dasi kita sewaktu SD dulu misalnya, mana Ayah tahu. Okelah, kalau itu dianggap urusan ibu. Tapi, bagaimana jika, Ibu sakit. Tidakkah kita hidup dalam kepanikan tingkat tinggi?! Hanya karena ibu sakit. Banyak hal bisa-bisa ‘lumpuh’.

Sudahlah, aku kehilangan kata-kata menggambarkan kehebatan Ibu kita. Kita akan sepakat dengan Erich Fromm, pemerhati gender, yang menilai; dalam cinta maternal kita menemukan sumber cinta. Betapa luas dan tulusnya kasih sayang yang diberikan Ibu kepada anak-anaknya. Kadang sebagian kita melupakan hak-haknya sebagai ibu. Itulah sebab muncul kembali -seperti sesuatu yang tertutup lalu tersibak di Barat-, Mother Right- Hak Ibu.
Mungkin pula tak ada yang menyangkal bahwa cinta anak kepada Ibunya berasal dari kebutuhan akan perlindungan, rasa takut dan ketidakberdayaan. Ibu mana yang sejatinya tidak menunjukkan semua itu pada anaknya. Pelacur sekalipun, ia tetap menunjukkan kasih sayang yang besar terhadap darah dagingnya. Alasan apa yang akan diberikan untuk tidak mensyukuri; Tuhan telah menciptakan kita dari seorang Ibu.
 
Ya, kami sangat bersyukur dengan keluarga ini. Dengan Ibu dan Ayah yang hebat. Tuhan memang Maha Baik untuk urusan ini.

Senja, lalu azan Magrib berkumandang. Artinya, Ibu sudah di bilangan baru usianya. Sesuai penanggalan Hijriah, magrib adalah waktu pergantian tanggal, bukan jam 12 malam.
Tentang azan ini, dulu Ibu pernah bercerita kepadaku pada suatu senja.

“Ibu selalu lintuah jika mendengar azan seperti ini.” Ibu berkata sambil mengisikan nasi ke piringnya.
“Aku juga. Lebih-lebih lagi jika dikumandangkan di saat maghrib dan ashar.” Sambungku merespon.
“Iya. Lebih-lebih di magrib.” Ibu menambahkan.
“Dulu, kami sering shalat di batu tepi danau.” Ibu bercerita. “Kala itu, dengan sengaja, Ibu dan adik-adik menuju tepian danau. Petang jelang magrib. Kami duduk di atas batu. Memandang langit yang mulai menguning. Sedang matahari turun perlahan. Hingga benar-benar yang tersisa hanya jingga.”
“Saat itu, danau ramai. Ada mereka yang sekedar berbiduk-biduk. Bocah-bocah yang berkecimpuh mendentum-dentum air dengan telapak kaki dalam renang mereka. Para remaja belia yang sama seperti kami,” kata ibu, “duduk bermenung bersama kawan sebaya. Menanti serah terima mentari ke bulan pergantian siang dan malam.” Matanya berlinang mengenang saat itu.

Sekalipun ia adalah Ibu, bukankah beliau juga punya masa kecil yang indah untuk dikenang? Itulah kenapa, menurutku, perlunya membaguskan masa kecil jika ingin masa depan seorang anak menjadi indah. Memang bukan jaminan, setidaknya, dengan begitu, ia telah memulai goresan kenangan hidup yang indah sebelum menapaki kehidupan yang antah berantah ini.
Ibarat sebuah lukisan, goresan awal pada kanvas itu sangat menentukan. Lihatlah hari ini, betapa banyak anak-anak nakal, remaja-remaja amoral, yang hidup sesukanya. Betapa banyak masalah siswa di sekolah yang dipicu karena urusan rumah tangga yang tak beres.
Tidakkah Ibunya mengajarkan mereka tentang kehidupan? Tentang cara-cara menjalaninya? Barangkali memang tidak. Ibunya tersibuk dengan dirinya sendiri. Dengan dunianya. Dengan pertengkarannya dengan Bapak si Anak. Dengan keseriusannya menghidupi keluarga, karena tidak beruntung memilih Bapak yang tidak bertanggung jawab untuk si anak. Ibunya lupa, bahwa anak adalah amanah Sang Pencipta kepadanya.

Jika sudah bicara amanah, kembali lagi, bagiku Ibu yang hebat itu adalah ibu yang amanah pada perannya. Itu pula (mungkin) alasan sebagian orang (bapak) tidak mengizinkan induak barehnya bekerja di luar rumah. Cukuplah ia serius mengabdi pada keluarga, mendidik anak, dan hal-hal dalam ranah domestik lainnya.

Sepertinya mungkin sederhana, tapi, apa iya? Menuntaskan pekerjaan rumah tangga yang dianggap sepele oleh sebagian laki-laki, setiap hari. Belum lagi mengurusi anak-anak. Plus, harus menjadi konselor terbaik buat anak-anaknya. Mendampingi si anak dalam setiap perubahan masa kehidupannya. Bercerita dan ikut menggambar di waktu anak TK. Mendengarkan sepak-terjang sang anak ketika SD. Dipanggil ke sekolah. Menasehati. Mendengar cerita-cerita gebetan sang anak yang sudah remaja. Mengajarkan cara memilah dan memilih yang benar sesuai ajaran langit.

Apalagi, urusan terbesar sang anak. Suatu masa, si Ibu harus rela anaknya di-amanahkan, dipercayakan pada seseorang. Jika itu anak gadis, ia harus rela berbagi dengan lelaki asing, entah siapa-siapa, yang akan hidup dengan anaknya, besok dan hari selanjutnya. Sedang jika itu laki-laki, ia mesti rela anaknya diurus oleh perempuan manalah, yang entah bisa benar-benar mengurus anaknya.

Cemas. Pasti saja si ibu cemas ketika waktu itu benar-benar tiba. Ia cemas kehilangan buah hatinya. Ia sedih akan terpisah dan tak lagi mengurusi kehidupannya. Bahkan, harus meminta izin pula kepada lelaki asing itu, jika ingin menyuruh sesuatu pada anak gadisnya. Pantas saja, setiap ibu sangat hati-hati melihat dan memilih lelaki asing untuk kehidupan masa depan anaknya.

Bagi mereka yang tak pernah merasakan kedekatan dengan Ibu bagaimana? Sudah. Sudah lama ia tak rasakan kehangatan kasih sayang si ibu. Maka, jika ada masanya ia menjadi seorang ibu, akan canggung, bagaimana seorang ibu itu berlaku pada anaknya? Ya, itu hanya sebagian, tidak seluruhnya. Bisa saja, lingkungan yang mengajarkannya.

Hari ini, 22 Juli, hari Ibuku. Aku mengagumi, memuji dan mendoakan setiap ibu yang telah menghebatkan anaknya. Suatu kali, aku pernah berucap pada seorang ibu ketika anaknya diwisuda. Aku ucapkan selamat. Selamat bukan pada sang anak. Tapi pada ibunya. Bukankah selama ini Ibunyalah yang selalu berdoa siang dan malam agar dimudahkan jalan yang berliku itu, dilancarkan semua urusannya. Hingga ia wisuda.

Jadi jangan bangga sendiri, kita dapatkan apapun, bukan semata-mata atas usaha sendiri. Doa ibulah yang banyak berperan untuk semuanya. Maka, bahagiakanlah hatinya. Agar kita beroleh kebahagiaan pula dalam hidup yang tersisa tak lama ini.

Hari ini pula, aku merasa sedang mengutuk setiap ibu yang tidak amanah pada anaknya. Pada ibu yang sengaja menghabisi nyawa si calon anak sejak awal, aborsi. Pada Ibu yang tidak mendidik dengan baik. Yang tidak peduli pada setiap perkembangan fisik dan psikologis anaknya. Membengkalaikan kehidupannya. Yang tersibuk pada facebook dan arisan semata. Dan, yang..yang... lainnya.

Selebihnya, selamat hari lahir Ibu.. Semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.. Senantiasa dalam lindungan dan berkahNya.. Amiin.

Bagiku, hal terindah sejak dulu sampai kini, adalah dirimu. Meski wajah dan usia kian menua, hidupmu bukan saja di dunia, tapi dalam jiwa dan kehidupan kami. Doakan kami Ibu. Doakan kami bisa berperan sepertimu kelak. Menjadi ibu yang baik, cerdas dan amanah bagi kehidupan setelah ini. Tentu dengan itu saja caranya membuktikan, bahwa kami telah belajar banyak darimu. Dari sebilah tulang rusuk yang bengkok, yang dipertemukan Tuhan dengan Ayah. Lalu, menjadi kesempurnaan yang selalu kami banggakan. (*)





No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...