Hari ini tanggal 22
Juli. Hari ini adalah hari ibu bagi kami. Ibu dilahirkan pada tanggal ini, 56
tahun yang lalu. Dalam ijazah-ijazah ibu tertulis tanggal lahir beliau adalah
22 Juli 1955, yang benar kata ibu, adalah tahun 1956. Kesalahannya adalah saat
ibu mendaftar sekolah dasar dulu. Umurnya dipercepat satu tahun agar bisa lebih
cepat masuk sekolah. Ah, bagi kami terserah saja, mau bilangan usia ibu
sekarang 56 atau 57, yang jelas ibu kami selalu terasa muda.
Bagaimana tidak
muda. Semua cerita kegiatan sanggar, tari-menari, acara-acara, kesibukan kampus
adikku juga menjadi bahan pembicaraan beliau. Apalagi denganku. Cerita apa yang
tak terungkap olehku kepada Ibu. Pekerjaan yang setumpuk. Balada buruh negeri
ini. Dilema idealisme. Mulai dari organisasi di kampus dulu. Juga untuk urusan
jatuh cinta, patah hati, galau dan..dan.. calon pendamping. Kalaulah ada
laporan ceritanya, mungkin sudah penuh satu kamar, laporan itu ditanda tangani
Ibu.
Ya, hanya soal calon
pendamping itulah aku sadar Ibu sudah tak semuda dulu. Karena memikirkan beliau
di masa depan, kadang aku takut membahas itu. Aku ingin pause kan
kehidupan pada masa ini saja. Sudah bahagia rasanya hidup di tahun ini. Setelah
melewati waktu-waktu sesak. Memang kehidupan berlalu begitu cepat setelah
kesedihan melanda.
Sore ini, Ibu
menyinggung hal itu. Ibu meminta aku mempertimbangkan soal lanjut sekolah atau’
hal itu’ dulu. Aku mencoba berargumen. Memberi penjelasan semenarik dan
serasional mungkin. Walaupun, kadang aku juga sependapat dengan ibu. Usia yang
dirasa pas. Tapi, bagaimanalah. Belum waktunya saja mungkin.
Aku yakin, Ibu atau
Mama kalian juga pastilah hebat. Setiap bertemu dengan sebuah keluarga, yang
selalu jadi perhatianku adalah induak bareh di rumah itu. Sehebat apapun
Ayah, Bapak atau Papa kalian, mestilah ada perempuan yang menghebatkannya. Ada
Ibunya, ada ibu kita. Yang kemudian sangat berperan untuk kehidupan dewasanya,
ya, jelas ibu kita.
Lihatlah, untuk
urusan sederhana saja di rumah, Ayah bisa sangat panik. Letak dasi kita sewaktu
SD dulu misalnya, mana Ayah tahu. Okelah, kalau itu dianggap urusan ibu. Tapi,
bagaimana jika, Ibu sakit. Tidakkah kita hidup dalam kepanikan tingkat tinggi?!
Hanya karena ibu sakit. Banyak hal bisa-bisa ‘lumpuh’.
Sudahlah, aku
kehilangan kata-kata menggambarkan kehebatan Ibu kita. Kita akan sepakat dengan
Erich Fromm, pemerhati gender, yang menilai; dalam cinta maternal kita
menemukan sumber cinta. Betapa luas dan tulusnya kasih sayang yang diberikan
Ibu kepada anak-anaknya. Kadang sebagian kita melupakan hak-haknya sebagai ibu.
Itulah sebab muncul kembali -seperti sesuatu yang tertutup lalu tersibak di
Barat-, Mother Right- Hak Ibu.
Mungkin pula tak ada
yang menyangkal bahwa cinta anak kepada Ibunya berasal dari kebutuhan akan
perlindungan, rasa takut dan ketidakberdayaan. Ibu mana yang sejatinya tidak
menunjukkan semua itu pada anaknya. Pelacur sekalipun, ia tetap menunjukkan
kasih sayang yang besar terhadap darah dagingnya. Alasan apa yang akan
diberikan untuk tidak mensyukuri; Tuhan telah menciptakan kita dari seorang Ibu.
Ya, kami sangat
bersyukur dengan keluarga ini. Dengan Ibu dan Ayah yang hebat. Tuhan memang
Maha Baik untuk urusan ini.
Senja, lalu azan
Magrib berkumandang. Artinya, Ibu sudah di bilangan baru usianya. Sesuai
penanggalan Hijriah, magrib adalah waktu pergantian tanggal, bukan jam 12
malam.
Tentang azan ini,
dulu Ibu pernah bercerita kepadaku pada suatu senja.
“Ibu selalu lintuah
jika mendengar azan seperti ini.” Ibu berkata sambil mengisikan nasi ke
piringnya.
“Aku juga. Lebih-lebih lagi jika dikumandangkan di saat maghrib dan ashar.” Sambungku merespon.
“Aku juga. Lebih-lebih lagi jika dikumandangkan di saat maghrib dan ashar.” Sambungku merespon.
“Iya. Lebih-lebih di
magrib.” Ibu menambahkan.
“Dulu, kami sering
shalat di batu tepi danau.” Ibu bercerita. “Kala itu, dengan sengaja, Ibu dan
adik-adik menuju tepian danau. Petang jelang magrib. Kami duduk di atas batu.
Memandang langit yang mulai menguning. Sedang matahari turun perlahan. Hingga
benar-benar yang tersisa hanya jingga.”
“Saat itu, danau
ramai. Ada mereka yang sekedar berbiduk-biduk. Bocah-bocah yang berkecimpuh
mendentum-dentum air dengan telapak kaki dalam renang mereka. Para remaja belia
yang sama seperti kami,” kata ibu, “duduk bermenung bersama kawan sebaya.
Menanti serah terima mentari ke bulan pergantian siang dan malam.” Matanya
berlinang mengenang saat itu.
Sekalipun ia adalah
Ibu, bukankah beliau juga punya masa kecil yang indah untuk dikenang? Itulah kenapa,
menurutku, perlunya membaguskan masa kecil jika ingin masa depan seorang anak
menjadi indah. Memang bukan jaminan, setidaknya, dengan begitu, ia telah
memulai goresan kenangan hidup yang indah sebelum menapaki kehidupan yang antah
berantah ini.
Ibarat sebuah
lukisan, goresan awal pada kanvas itu sangat menentukan. Lihatlah hari ini,
betapa banyak anak-anak nakal, remaja-remaja amoral, yang hidup sesukanya.
Betapa banyak masalah siswa di sekolah yang dipicu karena urusan rumah tangga
yang tak beres.
Tidakkah Ibunya
mengajarkan mereka tentang kehidupan? Tentang cara-cara menjalaninya?
Barangkali memang tidak. Ibunya tersibuk dengan dirinya sendiri. Dengan
dunianya. Dengan pertengkarannya dengan Bapak si Anak. Dengan keseriusannya
menghidupi keluarga, karena tidak beruntung memilih Bapak yang tidak
bertanggung jawab untuk si anak. Ibunya lupa, bahwa anak adalah amanah Sang
Pencipta kepadanya.
Jika sudah bicara
amanah, kembali lagi, bagiku Ibu yang hebat itu adalah ibu yang amanah pada
perannya. Itu pula (mungkin) alasan sebagian orang (bapak) tidak mengizinkan
induak barehnya bekerja di luar rumah. Cukuplah ia serius mengabdi pada
keluarga, mendidik anak, dan hal-hal dalam ranah domestik lainnya.
Sepertinya mungkin
sederhana, tapi, apa iya? Menuntaskan pekerjaan rumah tangga yang dianggap
sepele oleh sebagian laki-laki, setiap hari. Belum lagi mengurusi anak-anak.
Plus, harus menjadi konselor terbaik buat anak-anaknya. Mendampingi si anak
dalam setiap perubahan masa kehidupannya. Bercerita dan ikut menggambar di
waktu anak TK. Mendengarkan sepak-terjang sang anak ketika SD. Dipanggil ke
sekolah. Menasehati. Mendengar cerita-cerita gebetan sang anak yang sudah
remaja. Mengajarkan cara memilah dan memilih yang benar sesuai ajaran langit.
Apalagi, urusan
terbesar sang anak. Suatu masa, si Ibu harus rela anaknya di-amanahkan,
dipercayakan pada seseorang. Jika itu anak gadis, ia harus rela berbagi dengan
lelaki asing, entah siapa-siapa, yang akan hidup dengan anaknya, besok dan hari
selanjutnya. Sedang jika itu laki-laki, ia mesti rela anaknya diurus oleh
perempuan manalah, yang entah bisa benar-benar mengurus anaknya.
Cemas. Pasti saja si
ibu cemas ketika waktu itu benar-benar tiba. Ia cemas kehilangan buah hatinya. Ia
sedih akan terpisah dan tak lagi mengurusi kehidupannya. Bahkan, harus meminta
izin pula kepada lelaki asing itu, jika ingin menyuruh sesuatu pada anak
gadisnya. Pantas saja, setiap ibu sangat hati-hati melihat dan memilih lelaki
asing untuk kehidupan masa depan anaknya.
Bagi mereka yang tak
pernah merasakan kedekatan dengan Ibu bagaimana? Sudah. Sudah lama ia tak
rasakan kehangatan kasih sayang si ibu. Maka, jika ada masanya ia menjadi
seorang ibu, akan canggung, bagaimana seorang ibu itu berlaku pada anaknya? Ya,
itu hanya sebagian, tidak seluruhnya. Bisa saja, lingkungan yang mengajarkannya.
Hari ini, 22 Juli, hari
Ibuku. Aku mengagumi, memuji dan mendoakan setiap ibu yang telah menghebatkan
anaknya. Suatu kali, aku pernah berucap pada seorang ibu ketika anaknya diwisuda.
Aku ucapkan selamat. Selamat bukan pada sang anak. Tapi pada ibunya. Bukankah
selama ini Ibunyalah yang selalu berdoa siang dan malam agar dimudahkan jalan
yang berliku itu, dilancarkan semua urusannya. Hingga ia wisuda.
Jadi jangan bangga
sendiri, kita dapatkan apapun, bukan semata-mata atas usaha sendiri. Doa
ibulah yang banyak berperan untuk semuanya. Maka, bahagiakanlah hatinya. Agar
kita beroleh kebahagiaan pula dalam hidup yang tersisa tak lama ini.
Hari ini pula, aku
merasa sedang mengutuk setiap ibu yang tidak amanah pada anaknya. Pada ibu yang
sengaja menghabisi nyawa si calon anak sejak awal, aborsi. Pada Ibu yang tidak mendidik
dengan baik. Yang tidak peduli pada setiap perkembangan fisik dan psikologis
anaknya. Membengkalaikan kehidupannya. Yang tersibuk pada facebook dan arisan
semata. Dan, yang..yang... lainnya.
Selebihnya, selamat
hari lahir Ibu.. Semoga Ibu sehat dan bahagia selalu.. Senantiasa dalam
lindungan dan berkahNya.. Amiin.
Bagiku, hal terindah
sejak dulu sampai kini, adalah dirimu. Meski wajah dan usia kian menua, hidupmu
bukan saja di dunia, tapi dalam jiwa dan kehidupan kami. Doakan kami Ibu.
Doakan kami bisa berperan sepertimu kelak. Menjadi ibu yang baik, cerdas dan
amanah bagi kehidupan setelah ini. Tentu dengan itu saja caranya membuktikan,
bahwa kami telah belajar banyak darimu. Dari sebilah tulang rusuk yang bengkok,
yang dipertemukan Tuhan dengan Ayah. Lalu, menjadi kesempurnaan yang selalu
kami banggakan. (*)
No comments:
Post a Comment