15.10.16

Anak Usia Dini Hari Ini



 Melihat dan mendengar berbagai kabar buruk terkait anak seringkali membuat hati kita miris. Di antara anak-anak itu, adalah mereka yang mengalami kekerasan verbal, kekerasan fisik, maupun kekerasan mental. Yang lebih memilukan lagi, adalah mereka yang menjadi korban pelecehan seksual. Setiap hari, media kita tak luput memberitakan hal itu. 

Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak, biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya. Itu artinya, perlakuan buruk yang diterima si anak, terjadi di lingkungan kesehariannya berada. Di rumah, di lingkungan keluarga, di sekolah, di tempat belajar lainnya, dan di perjalanan menuju semua aktivitasnya itu. 

Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 1,“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Di antara rentang usia tersebut, yang paling kecil ruang lingkupnya adalah anak pada usia 1-7 tahun. Mereka rata-rata baru berada di lingkungan keluarga, atau tempat penitipan anak, atau di tempat pendidikan anak usia dini (PAUD).

Sebagai masyarakat, kita memang wajib peduli kepada anak yang berada di mana saja lingkungannya. Karena semua anak adalah anak kita. Anak merupakan titipan masa depan. Dan, kita semua bertanggung jawab memberi rasa aman dan perlindungan demi masa depannya. 

Sekalipun, pada kenyataannya, masih ditemukan kesulitan dalam pembinaan anak yang mengalami perlakuan buruk di lingkungan keluarga, oleh orang tua atau keluarga intinya sendiri. Sebagiannya akan enggan melaporkan, karena menganggap itu adalah aib keluarga. Tidak perlu diperluas, dan keluarga akan menyelesaikan dengan caranya sendiri. 

Hal seperti inilah yang membuat proses hukum oleh pihak kepolisian menjadi lebih sulit. Lembaga-lembaga sosial peduli anak pun akan kesulitan karena informasi yang diberikan tidak maksimal. Atau bahkan ada yang ditutup-tutupi. Jika memang demikian, siapapun tentu tak banyak bisa berbuat. Kecuali, masyarakat setempat peduli, pemerintah lingkup terkecil daerah itu juga pro aktif menangani jika terjadi sesuatu. Kita hanya khawatir, ketidak amanan di lingkup keluarga itu, merembes dan memberi dampak yang lebih luas kepada masyarakat lainnya. 

Lain halnya dengan perlakuan buruk anak yang diterima di lingkungan PAUD atau tempat penitipan anak. Tidak sedikit berita tentang kelalaian pengasuh di tempat penitipan anak dan bayi, yang berefek merugikan anak, membahayakan anak, dan mengorbankan anak. 

Misalnya bayi yang tiba-tiba di rumahnya diketahui sudah ada bagian melepuh di jari kakinya. Seperti tersiram air panas. Ketika si ibu mengonfirmasi ke pihak TPA, semua berkilah, kalau itu tidak terjadi di tempat mereka. Atau, yang baru-baru ini saya dengar. Salah satu bayi di TPA “X”, ditemukan kejang, meninggal di tempat. Didapati ibunya, bayi di ruangan khusus bayi itu, tersungkur, jatuh dari ayunan, yang bayi itu ditinggal sendirian. Belum lagi, hal-hal yang merugikan lainnya seperti anak-anak yang digigit ulat, bayi-bayi dan anak-anak yang mendapat penyakit ‘seragam’ sepulangnya dari tempat itu. Menyedihkan.

Benar, bila semua itu bukanlah keinginan siapapun. Tapi kelalaian yang terjadi tersebab siapapun, tentu harus diantisipasi. Salah satunya adalah dengan adanya standar kelayakan bagi pihak pengelola tempat penitipan anak di mana saja adanya. PAUD/ tempat penitipan anak yang terstandar pun perlu dilakukan pembinaan berkala dan pengawasan oleh pemerintah. Perlu juga adanya sanksi yang jelas terhadap kelalaian tersebut. Berapa persen di antara pengelola dan bunda-bunda pengasuh PAUD itu, yang telah tersertifikasi untuk profesinya, atau telah lolos uji kompetensi, pengetahuan dan skil dalam pengasuhan anak. Apakah sudah dipublis? Bagaimana seorang ibu akan merasa aman menitipkan bayi dan anaknya?

Semuanya seperti upaya saling berkait dalam mewujudkan kesejahteraan sosial kita. Untuk membentuk bangsa yang kuat, perlu dipersiapkan generasi-generasi yang kuat pula. Generasi yang kuat memang bermula dari keluarga, tapi lingkungan kita jelas berperan pula dalam perlindungan dan penjagaan tumbuh kembang si anak.
Orang tua dan keluarga adalah  pihak yang bertanggung jawab penuh untuk anak-anaknya. Mungkin hal inilah yang menjadi alasan bagi mereka yang memilih menjadi pendidik full di rumahnya, bagi anak-anaknya (saja). Ini jelas lebih baik. 

Namun kita tidak bisa menafikan kondisi sosial setiap orang yang berbeda satu dan lainnya. Pada keadaan ibu-ibu yang bekerja, tentu butuh orang lain. Menyikapi hal ini, pemerintah melalui kementrian PPPA telah berupaya dengan menganjurkan adanya ruang laktasi di setiap SKPD. Bahkan tahun 2014 lalu, mentri PAN-RB juga meminta setiap instansi pemerintah memiliki tempat penitipan anak.

Data di sebuah kota menyebutkan, PNS perempuan berjumlah 1523 orang dari 2490 pegawainya. Jelas lebih banyak perempuan. Kita lihat pula di sekolah-sekolah, semakin nampak perbandingan lebih banyaknya perempuan dibanding laki-laki. 

Di BUMN atau swasta pun hendaknya diperlakukan sama. Perlu ada yang memberi pengawasan ketersediaan ruang laktasi, atau tempat penitipan anak untuk kesejahteraan karyawan perempuannya. Ber(t)apa banyak perempuan yang hari ini bekerja dan menghabiskan hari dan waktunya di bank, misalnya. Apakah kita akan tutup mata untuk semua kebutuhan itu. 

Karena kita tidak bisa menutup peran perempuan di ruang publik, maka kita butuh kepedulian bersama untuk menselaraskan hak dan kewajiban yang diterimanya. Ketika bicara tentang anak, kita juga akan bicara tentang perempuan.

Pada mereka –para perempuan kepala keluarga- yang harus bekerja menaflkahi anak-anaknya, pengasuhan layaknya keluarga normal akan jauh dari sempurna. Atau anak yang hidup di tengah keluarga yang tidak harmonis, korban perceraian orang tua. Anak-anak yang bahkan ditelantarkan orang tuanya, dan diasuh di panti-panti asuhan. Anak-anak yang tertakdir hidup dalam kondisi itu, jelas tetap memiliki hak yang sama dengan anak lainnya. 

Akhirnya, semua kita harus peduli pada generasi masa depan yang hanya 20% dari populasi manusia hari ini. Mereka adalah 100%  kehidupan hari esok. Anak dan bayi dalam lingkungan tempat penitipan anak ini, harus dijaga bersama, diawasi pengasuhannya, dikontrol pengelolaannya, disiapkan sanksi kelalaian yang diterimanya dari pengelola itu. Oleh kita semua. Semua unsur masyarakat, lembaga-lembaga perlindungan anak dan pemerintah mesti bersinergi untuk itu. Ya, kita, siapa lagi?

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...