11.10.16

Si Aku, Siswaku (2)

Masih ingat kisah si Aku, siswa saya yang bermasalah dengan hari Selasa? Ya, mari kita lanjutkan ceritanya.

Perkara si Aku, sampai ke pejabat sekolah. Laporan para guru, -khususnya guru hari Selasa- memberi peringatan 'keras' kepada si Aku pasca mid semester ini. Ia juga terancam tidak dapat mengikuti kegiatan praktek kerja industri awal tahun depan. Itu sama halnya dengan ia tidak dapat naik ke kelas dua belas.

Saya dan guru kejuruan yang waktu itu ke rumahnya, memanggil lagi si Aku. Bergantian kami bertanya. Berbagai cara. Dari seperti berbicara dengan orang dewasa, serius, dan to the point sampai ke yang paling lembut dan langsung TAP ke hati. Semua jurus dikeluarkan. Dari emosi marah sampai hampir-hampir menyerah menunggu tanggapannya. Aduh... beginilah. Berhadapan dengan anak terlanjur dewasa oleh masalah, tapi tetap saja butuh,,butuh keadaan dia diterima sebagaimana seorang anak.  

Saya terpikir, dalam aturan sistem saat ini, ia sudah sepatutnya menandatangani surat perjanjian tingkat tiga. Dimana pada surat itu tertera materai 6000, dekat tanda tangannya. Juga diketahui oleh wali kelasnya, guru konselingnya, kepala sekolah dan tentunya orang tua atau walinya. Nah, siapa yang akan menjadi wali? Dirinya sendirikah? Nenek, hmm, entahlah.

Kalau hal itu terjadi, maka dalam rapat penentuan nanti, ia akan terkendala untuk bisa prakerin. Kehadiran dan syarat-syarat lain tak terpenuhi. Konsekuensinya adalah tak naik kelas. Seterusnya? Akan kecil sekali kemungkinan ia akan bersekolah sebagaimana hari ini. Kalau ia tak sekolah lagi, bagaimana. Akankah ia jadi preman simpang, tak tau kerjaan. Padahal, komplain dari guru-guru lain tak ada berkaitan dengan kenakalan yang diperbuatnya. Juga masalah kemampuan, ia tak begitu 'payah' untuk standar sekolah kami. Si Aku tak boleh berhenti sekolah.

Kepala sekolah didatangkan. Setelah memahami keadaan si Aku, didapat kesepakatan. Surat perjanjian tingkat tiga dipending dulu. Ia tetap membuat pernyataan, yang tetap berjanji, tapi di buku bimbingan walas saja.


Sabtu itu, perjanjian ditulis. Setelah beberapa hari tak datang, ia datang ke sekolah hari Sabtu. Hari Senin, kelasnya belajar dengan saya. Si Aku tak datang. Sebuah surat bertanda tangankan dia dan neneknya diberikan siswa lain. Ia sakit.

Si Aku pernah bercerita, di telinganya tumbuh semacam benjolan. Setelah diobati bagian kanan, benjolan itu tumbuh lagi di sebelah kiri. Katanya lagi, keadaan serupa telah terjadi beberapa kali. Waktu kelas sepuluh, penyakit itu sempat singgah pula. Karena menurutnya, pelayanan puskesmas dan dokter yang kurang bersahabat, ia malas datang lagi ke dokter. Jadilah, ia menahan sakit, dan meminta 'pencet' benjolan itu, kepada temannya saja. Bagaimana bila anak lain seusianya sakit? Pastilah merengek kepada ibu. Ditemani berobat, disiapkan makanan lebih baik tentunya. 

Minggu ini jadwal pelajaran berganti. Mata pelajaran saya dijadwalkan hari Selasa di kelas si Aku. Maka jadilah saya masuk kelasnya lagi hari itu, Selasa. Dan si Aku, masih tak datang.

Saya mengajar di kelasnya, Hari Selasa. Tapi saya menunggu kabarnya setiap hari, tak hanya Selasa. 
Apa kabar dia hari ini..

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...