6.10.16

Si Aku, Siswaku (1)

Siang itu waktu menunjukkan pukul 14.50 Wib. Saya bermaksud melakukan kunjungan rumah (home visit) ke rumah salah satu siswa. Ya, pada kasus-kasus tertentu, saya memang merasa butuh untuk melakukan kunjungan rumah siswa. Melihat langsung kehidupannya, mungkin juga merasakan, memberi makna dan mungkin juga kemudian mensyukuri banyak hal dari kunjungan tersebut. Dan, saya menyukai kegiatan ini. Bersama seorang guru kejuruan, kami berangkat menuju rumah si siswa.

Rumah itu, berjarak hanya beberapa kilometer dari sekolah kami. Nuansa desa yang damai begitu terasa saat saya sampai di rumah itu. Bayangkan saja, kita mendengar aliran gemericik air yang mengalir dari sawah, melintasi parit kecil tepat di depan rumah itu. Sisi kiri rumah itu dan bagian depan, dihadapkan dengan tanaman padi yang mulai menguning. Sisi kanan, selain bersebelahan dengan rumah tetangga, juga ada kolam ikan. Bagian samping rumah, adalah kandang ayam. Arah belakang rumah terdapat dapur kayu. Selain itu, rumah sederhana itu memiliki halaman yang dihampari oleh batu-batu kerikil. Aduhai, betapa ini benar-benar nuansa rumah nenek, saat saya mengarang cerita ketika SD dulu. Nyaman sekali untuk waktu siang yang tak begitu panas hari itu.

Suasana Depan Rumah si Aku
Perkenalkan, namanya adalah Aku. Atau, kita panggil saja dia si Aku. Dia adalah siswa laki-laki kelas dua sekolah menengah kejuruan. Si Aku, menurut wali kelas lamanya, bukan tergolong anak nakal. Dia juga bukan anak yang suka mencari perhatian dengan sikap usil terhadap kawan-kawannya. Ia hidup bersama seorang nenek. Ya, tepatnya mereka hidup berdua. Hanya berdua. 

Saya memperkenalkan diri. Saya bertanya, kemana si Aku. Si nenek menjelaskan, si Aku mengaku tidak sekolah, karena baru saja selesai ujian Mid semester. Jadi libur dulu, katanya. *wahai. saya menemukan satu kebohongan anak itu.

Menurut pengakuan nenek itu, si Aku telah bersamanya sejak ia berumur empat hari. Hanya bermodal kompeng, dot dan susu botol-lah ia membesarkan si Aku. Sebagai seorang nenek, katanya lagi, ia sungguh menyayangi cucunya itu. Ia juga menceritakan bagaimana pengorbanan yang dilakukannya untuk beberapa cucunya yang lain.

Nenek itu, meskipun kadang tak memasak, tapi ia meminta bantuan tetangga untuk memasakkan makanan untuk mereka. Dengan uang pensiunnya, si nenek mencoba memenuhi kebutuhan si Aku. Memberi ongkos dan uang jajan untuk si Aku.

"Tapi buk, payah bana manjagoan nyo." cerita si nenek tentang susahnya ia menjaga dan mendidik anak laki-laki yang bertumbuh remaja itu. "Kadang ia pulang jam dua malam, kadang jam tiga. Kemana anak itu, entahlah." Tambahnya lagi, "Kok pai-pai juo Ang, mati se den di rumah ko sia nan ka tau?" Suara si nenek mulai serak, matanya pun berkaca-kaca. 

Nah! Kebohongan kedua. Pengakuan si Aku, ia selalu di rumah. Bahkan untuk sekedar main bola sore pun, ia jarang lakukan, karena khawatir neneknya yang tinggal sendirian. 

Masalah yang mengantarkan saya ke rumahnya bukan tentang kebohongan itu. Sebabnya adalah, si Aku sudah lebih lima kali hari Selasa tak datang ke sekolah. Dan, hanya hari Selasa. Ada apa dengan hari Selasa?

Bersama si nenek
Ada beberapa kemungkinan yang melintas di pikiran saya, pertama, mungkinkah si Aku bekerja pada hari Senin, lalu ia kelelahan dan tidak bisa datang sekolah hari Selasa. *Senin adalah hari 'balai' di kota kami. Atau, kemungkinan kedua, ia ikut seseorang yang mengantar barang-barang pada malam Selasa itu. *Seperti kasus siswa saya sebelumnya, yang menyetir truk mengantarkan seng/atap ke daerah (kabupaten) lain. Atau, kemungkinan lainnya, apakah neneknya sakit setiap hari Senin? Atau ia tak punya uang untuk berangkat sekolah setiap hari Selasa? Atau, atau yang lain?

Hari itu, memang belum ditemukan, apa sebab si Aku tak kunjung datang sekolah hari Selasa. Tapi, saya menyimpulkan beberapa hal, tentang kebohongannya, tentang cerita-cerita si nenek, tentang mulai menipisnya *mungkin* motivasi sekolah si Aku. Atau, ia sedang menghadapi persoalan lain, yang tak diceritakan kepada si nenek.

Lalu, kami membuat kesepakatan, saya dan si nenek. "Nenek jangan beri tahu si Aku dulu, tentang kedatangan saya hari ini. Besok, di sekolah saya akan panggil lagi, dan tanyakan kabarnya. Mana tau, ia bisa bercerita." Si nenek setuju. 

***
Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya home visit saat itu. 

Pertama, Ini hanyalah bagian perjalanan takdir. Maka adakah yang pantas disalahkan dengan keadaan semacam ini? Si Aku mungkin tak pernah menginginkan terlahir menjadi anak yang tak dibesarkan ibunya. Diurus oleh nenek, yang yaa..bagaimanalah kasih sayang si nenek, yang tak sanggup 'berang' karena terlalu sayang. Seberapa mengertikah si nenek tentang tugas-tugas yang dibebankan sekolah. Ah, diceritakan pun, mungkinkah si nenek mengerti tentang rumitnya hal-hal berkaitan jaringan, matematika, dan bahasa inggris? Saat remaja seusia itu sakit, masih ada ibu tempat mengadukan yang terasa. Si Aku? Tanggunglah saja sendiri. Ceritakan ke puskesmas, antarkan sendiri sakitmu, dan mintalah obat jika kamu memang mau sehat kembali. Bukankah hanya begitu yang mau tidak mau, rela tidak rela, harus dihadapinya?

Kedua, persoalan yang dihadapi si Aku, pastinya tak hanya perkara kasih sayang yang tak sempurna ia peroleh sejak masa kecil. Melainkan juga karena hitung-hitungan keuangan. Kebutuhan anak remaja, apakah terpenuhi dengan gaji pensiunan yang telah potong sana-sini, dan tentunya memenuhi kebutuhan mereka berdua? 

Ketiga, tekanan yang dihadapi si Aku di sekolah, kasus ini itu, mengantarnya bercerita atau mengadu kepada siapa? Ibu jauh, sibuk pula mencari uang. Ayah? Ayah tak tau dimana. Kawan? Seberapalah pedulinya kawan.. Ia memang menjadi korban. Efek keadaan keluarga yang tidak normal. Namun, ketidak beruntungan nasib hendaknya bukan alasan baginya kemudian menjadi lemah.

Keempat, Kalau saja ada lembaga atau yayasan yang peduli pada urusan finansial, juga kasih sayang. Kalau saja, ada banyak orang tua asuh, kalau saja mamak, sanak famili dan keluarga masih peduli. Sayangnya, kita terlanjur tak sabar. Sayangnya, keadaan itu hanya "kalau saja". 

Kelima, si Aku tak boleh berhenti sekolah. Ia harus punya modal keterampilan untuk masa depannya. Tapi yang lebih utama, ia harus tahu : "Berpikirlah Aku. Begini hidup mengajarkan kita..Ya, Beginilah."

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...