25.12.11

RESENSI: Biografi Moh. Hatta


Judul buku      : Berjuang dan Dibuang
                        (Seri kedua Otobiografi Mohammad Hatta)
Penulis             : Mohammad Hatta
Editor              : Mulyawan Karim
Penerbit           : Kompas
Tahun              : Februari 2011



Politik Hatta dari Belanda ke Sukabumi

“Politik di negeri jajahan terutama berarti pendidikan. Politik mengenai pengertian biasa tidak dapat dijalankan, kalau raykat tidak mempunyai keinsafan dan pengertian. Sebab itu, didikan harus jalan dahulu. Dan didikan tidak akan sempurna, kalau ia tidak memaki asas yang terang” (hal. 27)

Demikian sepenggal tulisan Moh. Hatta yang disiapkannya untuk Harian Daulat Ra’jat No. 37 tanggal 20 September 1932. Melalui tulisan itu Hatta menyampaikan alasannya kenapa sekembalinya dari pendidikan di Belanda, ia langsung memilih bergabung dengan Pendidikan Nasional Indonesia.
Semenjak pendidikan doktoralnya tahun 1929 di Belanda, Hatta sudah mempersiapkan diri untuk organisasi politik ini. Semula dia bermaksud menempuh ujian doktoral di bidang ilmu ekonomi pada tahun 1925. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu karena minatnya yang besar di bidang politik.
Tentang urusan politik dan pemikirannya, Hatta bercerita melalui tulisan-tulisan yang dikirimnya ke media daulat Ra’jat, Pemandangan, dan Nationale Commentaren.
Berbeda dengan realitas pemuda (mahasiswa) hari ini. Semenjak meletusnya gerakan reformasi tahun 1998 lalu, pemuda Indonesia lebih intens menyatakan pemikirannya melalui aksi (lapangan) dibanding tulisan yang bisa lebih tajam. Aksi yang menurut sebagian kalangan tak berarti apa-apa. Tenaga dan massa terbuang percuma. Ide dan tuntutan kadang tak dihiraukan.
Bahkan beberapa waktu lalu, kita dikenalkan dengan tokoh kritis mahasiswa Universitas Bung Karno. Sondang Hutagalung lebih memilih aksi bakar diri untuk mengungkapkan berbagai gejolak di pikirannya. Terlepas dari pro dan kontra sikap itu, yang jelas beragam aksi selain menulis kritikan (tajam) lebih dipilih pemuda hari ini. Atau barangkali tulisan sudah tak berarti apa-apa lagi. Tapi Hatta telah membuktikan, bahwa pikiran dan idenya sampai ke berbagai kalangan lewat tulisan.

Sesampai di Indonesia, Hatta dan Soekarno tetap saling menghargai, meskipun berbeda aliran politik. Melalui pertemuan dan diskusi dengan sejumlah tokoh penting, Hatta dan teman-temannya mempersiapkan kemerdekaan. Ia sempat diasingkan ke Digul, Papua. Saat ditawari oleh kepala pemerintahan di sana, agar Hatta bekerja untuk colonial, dengan upah 40 sen sehari, ia menolaknya. Hatta lebih memilih hidup dari honorarium menulisnya di surat kabar Pemandangan. Prinsip hidup.
Pasca perang pasifik, yang banyak mengubah keadaan dan suasana di seluruh Hindia Belanda, pada tahun 1942 Hatta dipindahkan ke Sukabumi. Tempat malabuhkan harapannya agar terbebas dari ineterniran.
Menarik. Meskipun Hatta bercerita detail dalam buku otobiografinya ini, tetap tidak membosankan. Bahasa tuturnya ringan dan jelas. Bahkan pada beberapa cerita/kisah perjalanan ia bertutur terlalu polos. Sehingga pembaca merasa seakan tidak sedang ‘dekat’ dengan Sang Proklamator Indonesia.
Seperti pada bagian cerita yang mengisahkan bahwa seorang Bung Hatta juga mengalami masa-masa sulit jelang ujian. Ia habiskan berbagai buku yang disuruh baca oleh profesornya. Bahkan si Profesor dengan tega meminta Bung Hatta untuk mempelajari buku-buku lain. Padahal setahu Bung Hatta, buku tersebut tidak membahas tulisannya, hukum administrasi.
“Tiap-tiap hari aku minum Tonikum untuk memperkuat badan dan pikiran.”Akhirnya, semua buku itu dibaca juga. Dan benar, Hatta sama halnya dengan pelajar/mahasiswa sekarang, pusing berhadapan dengan buku. “karena itu, kuhentikan belajar. Tiap-tiap hari aku berjalan-jalan saja dengan meminum Tonikum. Ini rupanya menolong sangat. Kira-kira dua hari sebelum ujian kucoba membalik-balik buku pelajaran, dan segala yang kupelajari sejak empat bulan itu banyak yang teringat kembali dalam otakku.”
Buku yang layak menjadi bacaan pemuda; pelajar dan mahasiswa Indonesia. Mengkaji kembali nasionalisme yang kian pudar. Tidak hanya bisa belajar dari pengalaman/perjalanan panjang dan komplek seorang tokoh bangsa, namun lebih pada sisi-sisi lain seorang Hatta yang tidak tergambar detail jika tidak membaca buku handy ini. []

Peresensi : Miftahul Hidayati

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...