31.5.12

Catatan Buku : Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin




Kali ke sekian saya menamatkan bacaan fiksi karya Tere Liye itu, tetap saja ada rasa baru yang muncul sebagai dampaknya. Sama halnya ketika saya membaca ulang Senja/Sunset Bersama Rosie, rasa, penilaian dan tanggapan saya terhadap kisah sarat makna itu selalu berbeda. Beda penekanannya, beda pelajaran.
Dulu, saya melihat kisah Danar dan Tania-nya. Bagaimana Tania bisa menyimpan rapat rasa kakak – adik yang seharusnya ia jaga, bukan yang lainnya. Pun begitu dengan Danar. Ia buru-buru menepis rasa yang berbeda yang tak tepat menurutnya pada Tania. Mereka saling memendam. 

Lalu, jika pada kenyataannya Danar menikah dengan Ratna, semua itu belum menjadi akhir yang bahagia. Bahagia mungkin, hanya bagi Ratna, dan tentu saja tak selamanya. Karena perlahan rasa tak tulus Danar yang diterima Ratna muncul. Semakin terlihat jelas dengan sikap dingin, kaku dan diamnya. 

Siapa yang menderita? Tania. Ya, ia mengira kehidupan Danar dan Ratna telah menemukan happy ending love mereka. Tania memilih untuk tetap melanjutkan hidup, dalam apapun bentuk terburuknya. Menjadi pribadi yang paradox, dengan hati yang kebas.  

Lalu siapa lagi yang menderita? Ratna. Yap, ia terluka dari sisi yang ia sendiri tak ketahui. Siapa yang tahan didiamkan oleh orang tersayangnya. Tak tahu apa kesalahan dan sebabnya. Tapi Ratna mencoba bersabar untuk semua itu, berbaik dan selalu mengupayakan solusi untuk rumah tangga mereka. Ia memang mendapatkan Danar. Rumah tangganya memang terlihat bahagia. Tapi, tidak sebenarnya. Danar  tak benar-benar hadir dalam kehidupan itu. Ratna memang memiliki Danar, tapi tidak hatinya. Semua menjadi tatapan kosong, hampa dan hambar.

Apakah Danar tidak menderita? Jelas saja. Ia sulit. Pada posisinya sebagai kakak angkat dan usia yang berbeda jauh, ia harus mengubur rasanya pada Tania. PIlihannya untuk menikah dengan Ratna, tentu memiliki banyak konsekuensi. Apa ia harus memaksakan rasa, terus membohongi Ratna. Ia harus ungkapkan pada Tania? Lebih gila lagi! Pada kondisi itu, diam mungkin solusi (-khusus untuk Danar sendiri).  Maka baginya, menikah bukanlah urusan cinta semata. Itu lebih pada hal rasional. Ia memilih untuk mengubur rasa cintanya dan terus berusaha menumbuhkan pada Ratna. Sayang, upayanya tak berhasil.

Maka Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, tepat sekali menjadi pelajaran bagi banyak hal. Sesuatu yang sudah menjadi ketetapan, bagaimana mungkin akan diingkari, dibenci, dan dihindari. Satu-satunya jalan agar semua tetap berjalan normal adalah dengan penerimaan. Menerima begitulah kehendak langit. Ikhlas dengan ketetapan akhir, dan sabar menjalaninya. Pesan pertama yang saya dapat.
Pesan kedua, lagi-lagi tentang kerja keras. Tere Liye seringkali memberikan contoh karakter tokohnya yang hebat itu adalah yang bekerja keras. Tak ada jalan lain untuk sukses jika tak bekerja keras dan terus belajar. Dicoba terus, dipelajari, dilaksanakan, dilanjutkan, dan terus seperti itu.
 
Daun yang jatuh tak akan pernah membenci angin. :)

No comments:

Post a Comment

Selendang Koto Gadang

Menyulam Pernah dengar Sulaman Koto Gadang?  Sulaman Koto Gadang, adalah sulaman spesifik Minangkabau yang berasal dari daerah K...