Semalam saya bersama Bung Karno. Ya, Soekarno, yang mantan
orang nomor satu Indonesia itu. Malam itu ia bukan sedang berpidato memakai jas
dan kopiah hitam yang membuatnya gagah layaknya di foto-fotonya. Ia tak ubahnya
seperti seorang tentara komunis. Bertopi bukan berpeci. Berbaju kanvas tak
berdasi. Sedikit kumis tipis menghiasi atas bibirnya. Sedikit bedanya, wajah Bung Karno masih meng-Indonesia, khas
Jawa. Bukan berwajah ras mongoloid seperti komunis lainnya yang mirip-mirip
orang Cina atau Rusia.
Malam itu kami –Saya dan Si Bung- berada di satu ruangan. Sedikit
impian saya terkabulkan. “berada dekat / satu ruangan dengan Presiden”.
Ruangan ini dibagi dua yang hanya disekat triplek. Di dalamnya ada sekitar 7 orang tawanan laki-laki dan perempuan. Satu
diantara perempuan itu, adalah saya. Jika dihitung quota, perempuan di sana
tidak mencukupi 30 persen, seperti aturan-aturan perpolitikan sekarang.
Selain kami, ada dua orang prjurit yang berdiri tegap di
samping pintu. Satu orang lagi berdiri di dekat jendela. Seorang lelaki
berpangkat kolonel duduk menghisap cerutu. Kakinya naik ke atas kursi yang terletak
berseberangan dengan kursi putarnya. Sedangkan Si Bung, berdiri dekat jendela.
Ia membelakangi bendera.
“Sudah kau siapkan?” Tanya Kolonel berwajah Rusia itu.
“Sudah,” jawab Si Bung.
Saya bingung. Apa yang tengah disiapkan mereka? Dan saya.
Saya berada di sini pada posisi koalisi atau oposisi?
**
Terbangun. Mengingat-ingat, apa pentingnya si bung itu hadir
pula di mimpi saya?
**
Dan…saya lupa, apa kelanjutan mimpi itu. Rasanya, mimpi
dengan si bung itu juga dipicu oleh cerita hari sebelumnya. Bahwa lelaki hebat
itu biasa punya banyak istri. *wah..benarkah?!*
Atau, bisa juga karena menonton berita di media saat itu sibuk dengan koalisi yang berkhianat.
Atau, bisa juga karena menonton berita di media saat itu sibuk dengan koalisi yang berkhianat.
Dan seperti disebutkan dalam sebuah artikel, kemampuan
mengingat mimpi itu hanya bertahan beberapa waktu saja. Ketika baru bangun
tidur, dan langsung menuliskan apa yang ada dalam mimpi saja, kita bisa mengingat
kembali bisa sampai 90 %. Tapi, jika terputus karena melakukan aktifitas lain,
bisa menjadi 40 % saja. Bahkan, jika tak langsung menuliskannya, niscaya kita
tak dapat mengingat mimpi itu lagi.
Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar kelas
satu-dua, Soekarno Hatta itu hanya satu orang. Bahkan, saya sebenarnya tak
tahu, apa itu proklamasi. Untuk apa. Siapa yang melakukannya. Sepertinya memang
kejadian hebat. Karena yang saya tahu saat itu adalah hidup damai, tidak
terlalu ramai, menyenangkan.
Pagi-pagi sekali, pasti ada makanan. Meskipun kadang juga
kami sarapan jangung. Bukan masalah. Sepulang sekolah, meskipun tak ada ayah
dan ibu, di rumah juga pasti ada makanan, plus setidaknya uang jajan untuk
sekedar membeli empat butir permen. Siang hari sampai sore, waktunya bermain.
Permainan yang asik-asik. Bergerak. Bersama banyak kawan, yang hebatnya kami
selalu berkumpul di suatu tempat. Beda dengan anak-anak sekarang, meskipun
sudah punya hape untuk menghubungi kawan-kawannya agar berkumpul, mereka lebih
memilih bermain sendiri, di kamar, membosankan pasti.
Sore selalu indah. Kalaupun sore itu hujan,
itu lebih menyenangkan. Kami akan main-mandi hujan. Hidup saat itu seperti tak
ada beban. Ibu juga terlihat aman –aman saja. Keluarga kami merki secara materi
sangat-sederhana sekali, semuanya aman.
Seperti halnya presiden yang juga selalu satu orang. Tak ada
presiden lain. Soeharto. Soeharto. Lalu, Soeharto. Pun dengan ‘organisasi
hebat’ dan acara hebat yang seingat saya perbah saya ikuti, ya acara kampanye
‘bendera kuning’ berlambang beringin itu. Saya tak tahu yang lain. Suatu kali
saya dibawa ibu ke acara itu. Saking terpengaruhnya acara tersebut, dua sampai
tiga hari di rumah, menurut cerita ibu, saya masih mengenakan atribut berupa
topi, rompi, dan scraf, lalu berteriak-teriak: Tusuk Golkar! Tusuk Golkar!
***
Dan 2014 tak lama lagi…
Saya tak sempat berfikir, setelah Soekarno, Soeharto dan Soesilo..mencari-cari Soe –apakah lagi yang
akan menjabat pemimpin bangsa ini?
No comments:
Post a Comment